Jakarta, 7 Maret 2018
“Perkuat
Dan Perluas Organisasi Massa Perempuan Demokratis Nasional, Perhebat Perjuangan
Massa, Hentikan Kekerasan Dan Penindasan Terhadap Kaum Perempuan”
Salam Pembebasan!
Hari perempuan Internasional diperingati
tanggal 08 Maret setiap tahunnya. Bagi SERUNI, Hari
Perempuan Internasional mempunyai arti tersendiri. Sebagai organisasi massa
perempuan yang menghimpun kaum perempuan dari berbagai kelas, sektor, dan
golongan, Hari Perempuan Internasional menjadi momentum penting sebagai ajang
konsolidasi dan mengkampanyekan secara luas berbagai persoalan yang dihadapi
oleh kaum perempuan di berbagai sektor. Terutama di semua basis
pengorganisasian Seruni di pedesaan dan di perkotaan.
Sejarah telah mencatat bahwa pada tanggal 8 Maret 1857
terjadi demonstrasi perempuan kelas buruh dari berbagai pabrik di New York,
Amerika Serikat yang menuntut penghapusan diskriminasi dalam hubungan produksi
dan membawa tuntutan kelas buruh untuk pengurangan jam kerja dan perbaikan
kondisi kerja. Lalu pada tahun
1908, diselenggarakan peringatan peristiwa 8 Maret 1857 dalam sebuah Rapat Umum
yang diikuti oleh 30.000 perempuan kelas buruh dan para pendukungnya. Tuntutan
utama masih terus dikumandangkan dan tuntutan tentang hak politik untuk memilih
dan dipilih dalam pemilihan umum mulai disuarakan. Baru
pada tahun 1910, dalam Kongres Internasional
Perempuan Kelas Buruh, Clara Zetkin (pemimpin lembaga perempuan pada partai
Demokrasi Sosialis Jerman) mengusulkan bahwa tanggal 8 Maret harus diperingati
sebagai hari perlawanan kaum perempuan kelas buruh dan upaya untuk
membangkitkan gerakan pembebasan perempuan di dalam garis perjuangan.
Di Indonesia, pengalaman turut sertanya kaum perempuan
dalam perjuangan rakyat Indonesia dilakukan sejak era kolonialisme belanda, tahun
1928 tepatnya dilaksanakan kongres perempuan Indonesia yang pertama. Gerakan
perempuan ini semakin tumbuh dan berkembang maju di masa
pemerintahan Soekarno. Namun akibat tindasan dan pembantaian rezim fasis Soeharto
boneka imperialis Orde Baru, kaum perempuan belumlah sanggup berjuang untuk
membebaskan dirinya dan membangun organisasi massa yang militan dan demokratis.
Ketika rezim Orde Baru jatuh di tahun 1998 oleh gerakan massa demokratis
anti-fasis, kaum perempuan turut memberikan andil dalam perjuangan anti-fasis
ini. Akan tetapi imperialisme dan kaki tangannya mengerti dengan potensi kaum
perempuan dan keterlibatannya dalam perjuangan pembebasan demokratis nasional.
Mereka berupaya keras untuk menjinakkan dan menghancurkan dari dalam gerakan
perempuan sendiri melalui penyebarluasan ide-ide non-proletar dan
non-kerakyatan, sehingga terkucil, eksklusif, dan cenderung berkontradiksi
dengan gerakan massa demokratis yang lain.
Dari pengalaman tersebut di atas, bahwa perjuangan kaum
perempuan untuk menuntut hak kesetaraan anti-diskriminasi jenis kelamin dalam
masyarakat berkelas di berbagai belahan dunia berhubungan erat dengan
perjuangan kelas di dalam masyarakat. Gerakan pembebasan perempuan bukan hanya
milik kaum perempuan semata. Persoalan obyektif kaum perempuan harus mempunyai
penyelesaian yang menyeluruh dan mendasar. Jalan keluar dari
persoalan-persoalan tersebut adalah: Penghapusan diskriminasi jenis kelamin
dalam lapangan ekonomi, politik, militer, dan budaya.
Tahun 2019 adalah tahun politik, dimana akan dilaksanakan
pemilu (pemilihan umum) Presiden RI. Sedangkan tahun ini, telah ditetapkan
sebagai momen pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada Juni 2018. Akan
tetapi berbagai macam bentuk kekerasan, eksploitasi dan penindasan terhadap
kaum perempuan Indonesia masih terus terjadi hingga saat ini. Kondisi perempuan
dibawah dominasi budaya feudal patriarkal dan system SJSF (setengah jajahan
setengah feudal) terus mengalami kemerosotan.
Beberapa
kali pemilu dilaksanakan di negeri ini, selama itu pula perempuan hanya
dimobilisasi untuk kepentingan suara semata dan pelengkap syarat sebuah partai
politik bisa lolos verivikasi. Secara politik perempuan tidak dinaikkan
kesadarannya. Pemerintah hari ini berbicara tentang usaha menaikkan tingkat
partisipasi politik perempuan, sementara instrumen kebijakan yang di
imlementasi oleh pemerintah tidak mendukung hal itu bisa terwujud. Sebagai contoh
disahkannya UU ORMASS (Undang-undang Organisasi Masa), UU MD3 (Undang-undang
MPR/DPR/DPRD/DPD), PP (peraturan pemerintah) no. 60 th 2017 tentang ijin
keramaian nyatanya membatasi ruang demokrasi perempuan. Terbaru ialah RKUHP
(Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) pasal 484 yang melebarkan makna
zina, sangat-sangat merugikan kaum perempuan.
Secara
ekonomi, perempuan juga masih mengalami diskriminasi upah. Baik perempuan di sector
buruh pabrik maupun perempuan buruh perkebunan. Adanya PP 78/2015 tentang pengupahan menghadirkan beban baru bagi klas buruh
di Indonesia, penetapan upah tersebut hanya berdasar pada angka inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Kenaikan upah buruh menjadi terbatas, tidak sebanding
dengan kebutuhan bahan pokok yang harganya terus melambung tinggi, sehingga
upah yang diterima buruh tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan hidup minimumnya. Dominasi negara dan perkebunan besar (kelapa sawit, kayu,
tebu, teh) atas penguasaan tanah menyebabkan jutaan keluarga masih hidup tanpa
tanah, hanya menjual tenaganya secara murah sebagai Buruh Tani Harian Lepas
(BHL). Kaum tani kecil lainnya sekalipun memiliki tanah, pendapatannya jauh
dari keperluan hidup, karena keterbatasan tanah, modal dan sarana produksi
pertanian (Input Pertanian), serta harga komoditas produksi pertanian (Output
Pertanian) yang sangat rendah dan tidak stabil.
Reforma agraria yang digencarkan Jokowi tidak mampu
menjawab kebutuhan kaum tani atas tanah. Sebab, Inti dari kebijakan RA Jokowi adalah legalisasi
asset atau sertifikatisasi yang justru berorientasi untuk memperluas pasar
tanah (land market) dan kredit perbankan. Dalam jangka
panjang, program ini semakin membuka peluang perampasan tanah karena
sertifikasi hanya akan memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan
tuan tanah dan perbankan yang menyita asset kaum tani. Program ini terkait
dengan skema Bank Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project (LAP).
Kami berpendirian bahwa reforma agraria sejati memastikan perombakan struktur
agraria secara menyeluruh, tidak parsial.
Kenyataan
ini membuat perempuan bermigrasi keluar negeri
menjadi buruh migran tanpa perlindungan sejati dari Negara. Terbaru ialah kasus
Adelina, asal Desa Abi, Kec.
Oenino, Kab. Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur yang
bekerja sebagai PRT di Malaysia, meninggal setelah mengalami penyiksaan dan
juga perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Pemerintah dengan bangganya mengesahkan UU
PPMI yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan UU 39 sebelumnya dimana BMI tidak
pernah dilibatkan dalam pembentukan kebijakan tersebut. Tuntutan BMI yang
menginginkan kontrak mandiri sama sekali tidak diakomodir, setiap kasus yang
menimpa BMI selalu dikembalikan ke pihak swasta dalam hal ini PJTKI yang
prakteknya selama ini tidak pernah berpihak pada BMI justru sebaliknya memeras
keringat BMI dengan berbagai potongan gaji yang memberatkan.
Perempuan di perkampungan
miskin kota pun tak lepas dari diskriminasi dan kekerasan. Reklamasi dan megaproyek infrasruktur menyebabkan rakyat terus dihadapkan pada
penggusuran yang tak jarang dilakukan dengan cara yang bar-bar, seperti yang
dialami warga Kapuk Poglar, Jakarta Barat baru-baru ini. Tanpa ada musyawarah,
bahkan relokasi dan kompensasi, rakyat dipaksa keluar dari tanah yang sudah
didiami sejak lebih dari 30th. Meskipun eksekusi lahan ditunda
karena masifnya gerakan massa di wilayah tersebut, bukan berarti warga sudah
aman dari ancaman penggusuran. Perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang
paling menderita jika benar penggusuran tersebut terjadi.
Di
tengah himpitan krisis yang semakin akut, perempuan juga harus menghadapi
kekerasan dan pelecehan seksual, baik fisik maupun verbal. Menurut cacatan
tahunan Komnas Perempuan tahun 2017, terdapat angka 259.150 kasus kekerasan
yang terjadi. Angka ini hanya berdasar dari catatan laporan/pengaduan dan
penanganan kasus oleh lembaga pengadilan agama dan lembaga layanan pendampingan.
Ini berarti yang terjadi sebenarnya masih banyak kasus kekerasan yang dialami
oleh perempuan, dan berarti pula masih banyak perempuan yang belum terlindungi
dari tindakan kekerasan.
Atas dasar hal diatas, maka tidak ada pilihan lain bagi
kaum perempuan selain memperkuat dan menyatukan diri dalam organisasi, bersama
melebur dengan perjuangan klas buruh dan kaum tani melawan segala bentuk
kekerasan dan penindasan, demi pembebasan sejati kaum perempuan Indonesia.
Berikut tuntutan Serikat Perempuan Indonesia pada
peringatan kampanye Hari Perempuan Internasional:
1. Tolak pengesahan
RKUHP dan cabut segala kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum perempuan.
2. Berikan
keadilan untuk Adelina dan perlindungan sejati untuk seluruh buruh migran Indonesia
di Negara penempatan.
3. Turunkan pajak dan harga-harga kebutuhan
pokok.
4. Naikkan
upah buruh perempuan dan tolak diskriminasi terhadap kaum perempuan.
5. Hentikan penggusuran di
Kapuk Poglar, Jakarta Barat.
6. Stop
reklamasi dan megaproyek infrastruktur yang merampas hak hidup rakyat.
7. Jalankan
reforma agrarian sejati dan bangun industrialisasi nasional.
Adalah tujuan Seruni, untuk terus
memperkuat dirinya agar dapat berjuang bersama kelas buruh, kaum tani, dan Rakyat
pekerja lainnya untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penindasan dan
penghisapan imperialisme dan kaki tangannya dalam negeri, menuju tatanan masyarakat yang adil secara ekonomi, demokratis secara politik dan
partisipatif secara budaya.
Hidup Perempuan
Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Hormat kami
Komite Eksekutif Nasional
Helda
khasmy Triana kurnia wardani
Ketua sekretaris jenderal
Posting Komentar