Mengecam Penggusuran
Paksa dan Tidak Sah pada Warga Kampung Darussalam Yang Dilakukan Dinas
Pendidikan Kota Tangerang dan Kecamatan Batuceper
Konflik
sengketa lahan terjadi antara warga yang bermukim di belakang SDN 1 Batuceper
dan Pihak Kecamatan Batuceper serta pihak Dinas Pendidikan Kota Tangerang.
Warga yang berpotensi menjadi korban dan kehilangan hak atas tempat tinggalnya
sendiri berjumlah 10 KK (seluruhnya berjumlah 35 orang, termasuk 9 wanita dan
12 anak).
Warga
yang saat ini menempati lahan yang berloksi di belakang SDN 1 Batuceper sendiri
sudah menempati lahan tersebur sejak tahun 1981 dan merupakan para ahli waris
dari korban penggusuran akibat pelebaran jalan yang dilakukan oleh PLN yang
terjadi pada tahun 1981 yang sebelumnya menempati tanah dan bangunan seluas 380
m2 yang beralamat di Batujaya Utara RT.003 / RW.003 Kel. Batujaya, kec.
Batuceper sejak tahun 1959. Tanah yang ditempati oleh warga saat ini sendiri
merupakan ganti rugi akibat penggusuran tersebut dan diberikan oleh Pemerintah
Desa saat itu melalui sebuah surat. Selama menempati lahan yang berlokasi di
belakang SDN 1 Batuceper warga pun selalu melakukan pembayaran PBB tiap
tahunnya.
Pada
tahun 2005 para warga yang direlokasi ke belakang SDN 1 Batuceper diminta
membuat surat pernyataan bahwa memang menempati tanah milik SDN Batujaya dan
Batuceper 1. Karena pada saat itu warga buta hukum dan tidak memahami maksud
dari surat tersebut mereka hanya menuliskan identitas diri dan tanda tangan
diatas surat yang sudah di format.
Pada
tahun 2017 warga mendapat surat pemberitahuan pengosongan lahan dari SDN
Batujaya, kemudian pada tanggal 5 Juli 2018 mendapat lagi surat teguran untuk
mengosongkan rumah dan Dinas Pendidikan. Tanggal 21 September 2018 warga
kembali mendapat surat permohonan penertiban pengosongan lahan dari Dinas
Pendidikan. Pengosongan akan dilakukan pada 26 September 2018.
Hingga
saat ini warga sendiri belum pernah diajak bermusyawarah mengenai pengosongan
lahan miliknya tersebut oleh Pemerintah Daerah Tangerang. Pemerintah Daerah dan
Dinas Pendidikan juga hanya menawarkan ganti kerugian sebesar Rp.2.500.000,- /
rumah (seluruhnya berjumlah 4 rumah). Warga kemudian menyurati Walikota
Tangerang meminta penjelasan mengenai dasar penggusuran oleh kecamatan namun
tidak mendapatkan respon. Bahkan pada 22 September 2018 warga mendatangi rumah
Wakil Walikota Tangerang untuk menanyakan hal terkait tanah yang merka tempati,
namun tidak mendapat penjelasan, wakil walikota hanya menyampaikan bahwa ia
hanya menjalankan tugas. Wakil walikota kemudian meminta pihak kecamatan untuk
menunda pengosongan sampai tanggal 1 Oktober 2018. Pada tanggal 1 Oktober 2018
warga kembali mendapat surat dari pihak Kecamatan Batu Ceper dan diberikan
waktu hingga tanggal 3 Oktober 2018 untuk meninggalkan lahan tersebut.
Pada
hari rabu, 3 Oktober 2018, aparat gabungan yang terdiri satpol PP, Polisi dan Tni
yang berjumlah sekitar 200 orang bersama orang dinas, datang pada pukul 9.00
pagi. Warga yang membuat barikade sejak pagi langsung didorong oleh aparat
gabungan hingga ke ujung gang dan terjadi pemukulan pada massa aksi ketika
terjadi negosiasi. Aparat
berulang kali mengatakan pada warga agar melalui proses hokum, namun aparat sendiri
tidak melalui proses hukum dengan mengintimidasi keluarga dan tim Komite Anti Penggusuran
Batu Ceper.
Disaat
yang bersamaan juga, warga yang dinilai banyak melakukan argumentasi beserta
pengacara dari LBH yang mencoba berbicara mewakili warga, didorong masuk secara
paksa ke dalam sekolah dan tidak diberikan kesempatan berbicara. Bentrok yang
teradi di lokasi menyebabkan 1 orang mahasiswa UKI dari barisan massa aksi
pingsan dan 17 orang ditahan.
Massa
aksi diantaranya ialah warga yang berjumlah 10KK (sekitar 35 orang) dan
solidaritas dari komite tolak penggusuran Batu Ceper ditahan di warung depan
sekolah dengan penjagaan dari pihak kepolisian. Mereka dimasukkan paksa
kesekolah dan ditahan di warung depan sekolah oleh satpol PP dan aparat kepolisian.
Mereka yang ditahan didalam sekolah juga mendapat intimidasi berupa pemukulan
oleb satpol PP. Disaat yang bersamaan itu pula alat berat langsung masuk dan langsung
melakukan eksekusi rumah warga tanpa
melalui proses negosiasi.
Dengan adanya kasus terserbut warga yang menempati tanah dibelakang SDN 1 Batuceper telah dilanggar sejumlah haknya, seperti Hak atas Perumahan dijamin dalam Undang-Undang Dasar NKRI 1945 Pasal 28H ayat (1), UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 129, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 40, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) Pasal 11 ayat (1), Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 25 ayat (1), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Jenis Diskriminasi Terhadap Perempuan Pasal 14 ayat (2) huruf g dan h, Konvensi Hak Anak Pasal 27 Ayat 3, General Comment No. 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak, General comment No. 7 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa.
Semua instrumen hukum dan hak asasi manusia, baik dalam regulasi nasional maupun regulasi internasional diatas menunjukan bahwa penggusuran secara paksa merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Lebih lanjut, berdasarkan pada resolusi 1993/77a, tentang Forced Eviction (panggusuran secara paksa) adalah pelanggaran berat HAM, terutama hak akan tempat tinggal yang memadai. Perlu menjadi penekanan yang harus diperhatikan, bahwa tanggung jawab pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara, baik dalam jajaran pemerintah pusat maupun daerah.
Selain
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh warga, juga terdapat
berbagai pelanggaran hukum. Adapun peraturan perundang-undangan yang dilanggar
adalah meliputi Pelanggaran Terhadap PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”) dan Pelanggaran Pasal 1963 KUHPerdata. Dimana
berdasarkan ke dua peraturan perundang-undangan tersebut, warga merupakan pihak
yang paling berhak mendaftarkan tanahnya di Badan Pertanahan Nasional. Hal ini
didasarkan pada penguasaan bidang tanah oleh warga sejak Tahun 1959 dan perlu
diperhatikan bahwa meskipun tidak mempunyai sertifikat, warga menguasai tanah
tersebut dengan itikad baik yakni melalui pemberian tanah titisara pada tahun
1959.
Sementara
itu, disisi lain Pemda Tangerang tidak pernah menunjukkan alas hak (sertifikat)
yang dimilikinya sebagai bukti kepemilikan sah untuk meminta pembongkaran. Hal
tersebut bertentangan dengan bahwa Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara menyatakan tanah yang dikuasai Pemerintah
Pusat/Daerah harus disertifikatkan. “Barang milik negara/daerah yang berupa
tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama
pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.
Untuk
itu, Komite Eksekutif
Nasional Seruni menyatakan MENGECAM penggusuran paksa yang
dilakukan pihak dinas pendidikan kota Tangerang dan Kecamatan Batu Ceper dan
bebaskan massa aksi yang ditahan oleh aparat kepolisian dan satpol PP tanpa syarat.
Hormat kami
Komite Eksekutif Nasional SERUNI
Komite Eksekutif Nasional SERUNI
KETUA SEKJEND
Helda Khasmy Triana
Kurnia Wardani
Posting Komentar