“Lawan Kebijakan dan
Tindasan Fasis Jokowi serta Berbagai Bentuk Kekerasan dan Kriminalisasi
Terhadap Kaum Perempuan”
Kondisi
perempuan Indonesia terus memburuk dan tindasan politik semakin keras
di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla. Hak demokratis perempuan dan rakyat terus dirampas oleh
kebijakan dan aturan negara yang lebih melayani kepentingan imperialis Amerika Serikat (AS). Paket
Kebijakan Ekonomi Jokowi (16 jilid) merupakan hasil intervensi imperialis AS untuk mendikte kebijakan
neo-liberalismenya. Hal ini ditujukan untuk mempercepat masuknya
investasi asing dan utang luar negeri ke
Indonesia yang berarti mengintensifkan perampokan dan penghisapan
terhadap negeri ini serta memperdalam jurang kemiskinan.
Atas nama pembangunan, kemajuan ekonomi,
kepentingan umum, dan lain sebagainya, rezim Jokowi-JK telah menunjukkan sikap
dan politik yang semakin fasis, semakin menunjukkan peran sejatinya sebagai
rezim boneka imperialis.
Masih segar dalam ingatan kita, Pemerintah
Republik Indonesia tidak berdaya menyelamatkan Tuti Tursilawati dari hukuman
mati oleh pengadilan Saudi Arabia. Ia terpaksa melakukan pembunuhan demi melawan
pelecehan seksual berkelanjutan dan puncaknya pemerkosaan atas dirinya. Di
negeri tersebut, pengadilan mengabaikan pelecehan seksual dan pemerkosaan atas
Tuti dan memilih mengadilinya sebagai pembunuh. Nasib tuti sama dengan
diperkosa dan setelahnya dibunuh. Dan pemerintah hanya bisa protes masalah
notifikasi hukuman mati dan menjelaskan telah melakukan berbagai upaya hukum
dan pendampingan, dan gagal !
Data Kementerian Luar Negeri RI menyebut bahwa
terdapat 142 warga Indonesia yang terancam hukuman mati di seluruh dunia.
Sementara di Hongkong, dari sekitar 300 kasus penganiayaan
fisik dan seksual yang di alami TKI setiap tahun, 50% di antaranya menimpa
tenaga kerja Indonesia. Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan, prevalensi kekerasan terhadap anak-anak 33% dan kekerasan terhadap
perempuan 30%. Sementara kekerasan seksual terhadap anak laki-laki 8% dan
prevalensi kekerasan seksual terhadap anak perempuan 3,6%. Bila anak Indonesia
berjumlah 83 juta maka ada 600 ribu hingga 800 ribu kekerasan seksual terhadap
anak. Secara mikro jumlah kekerasan ini terus
mengalami peningkatan di banyak kota dan kabupaten. Termasuk kekerasan sangat
ektrem dilakukan oleh orang tua sendiri, pasangan sendiri, hingga mengakibatkan
kematian.
Menurut Komnas Perempuan ada 259 ribu laporan
kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2017. 305 Ibu Indonesia yang
meninggal setiap 100.000 kelahiran bayi. Dari 5 juta kelahiran pertahun di
Indonesia dengan pertumbuhan penduduk 2%, maka masih ada sekurang-kurangnya 13.500
ibu meninggal dunia setiap tahun.
Bagi seorang buruh harian lepas perempuan di
perkebunan besar kelapa sawit, seperti di Siak, Riau. Diskriminasi upah,
ancaman kesehatan reproduksi dan pelecehan seksual adalah cerita sehari-hari.
Bila buruh tani perempuan mengajukan cuti haid pada mandor, selangkangannya disenter dan kemaluannya diraba, demikian kesaksian
buruh perempuan di salah-satu Perkebunan Besar Sawit.
Keadaan mayoritas perempuan Indonesia adalah
ironi pada saat yang bersamaan negara
membanggakan Sri Mulyani, Susi Pujiastuti, Hartati Mudaya Poo, bahkan Megawati
dan Grace Natalie. Kenapa hal ini terbelangsung, karena banyak kaum perempuan
di seluruh dunia dan di Indonesia bukanlah representasi dari kaum perempuan
pekerja dan rakyat, mereka mewakili kepentingan perempuan dari klas yang
berkuasa bahkan kepentingan imperialis dan klas-klas yang menjadi kaki
tangannya di Indonesia.
Perempuan “elit” yang menjadi representasi
nominal semacam itulah yang sekarang sedang dilahirkan melalui proyek SDGs,
sebelumnya MDGs. Kelahiran perempuan semacam itulah yang sekarang sedang
dilakukan melalui persyaratan nominal “Perspektif Gender” dalam setiap proyek
pembangunan di seluruh dunia bahkan dalam proyek reformasi Angkatan
Bersenjata.
Seluruh kebijakan dan program perempuan
imperialis Amerika Serikat dan negara bonekanya di seluruh dunia tidak
bertujuan untuk membebaskan kaum perempuan, tetapi membelenggu kaum perempuan
dalam sistem yang sama bahkan memobilisasi kaum perempuan untuk mempertahankan
sistem yang menindas dan menghisap kaum perempuan. Sistem yang terus
melestarikan kekerasan primitif dan barbar terhadap perempuan dan tidak bisa
berbuat banyak untuk menghapuskannya.
Bahkan setelah dua dasawarsa paska
reformasi, persekusi terhadap kaum perempuan yang berjuang melawan tindakan
pelecehan seksual yang dialaminya justru semakin meningkat. Kasus-kasus
kriminalisasi, penangkapan dan kekerasan terhadap rakyat yang berjuang
mempertahankan hak-haknya terus terjadi. Seperti yang kini
masih hangat menjadi perbincangan apa yang dialami kawan kita Anindya Sabrina
(anggota Front Mahasiswa Nasional cabang Surabaya) yang menjadi korban
pelecehan seksual oleh satpol PP justru kemudian dipolisikan, korban lain ialah
“Agni” (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswi UGM (Universitas Gadjah Mada)
yang menjadi korban pemerkosaan oleh teman KKN (kuliah kerja nyata) yang hingga
kini setelah setahun lebih kasusnya terjadi, masih mencari keadilan, dan satu
lagi ialah Baiq Nuril, seorang guru di sebuah SMK (Sekolah menengah kejuruan)
di Lombok yang menjadi korban pelecehan oleh kepala sekolahnya justru dipenjara
dan dituntut 500 Milyar, tak luput pula seorang anak berusia 15 th berinisial
WA yang diperkosa Sembilan kali oleh kakak kandungnya, hamil, kemudian
menggugurkan kandungannya justru dipenjarakan oleh hakim yang mulia. Tanpa
sedikitpun melihat perspektif dari korban, alasan dibalik kenapa seorang WA
menggugurkan kandungannya. Lalu apa sejatinya HAM bagi perempuan dan bagi
rakyat tertindas lainnya? Ketika hukum di Indonesia lebih tajam ke bawah dan
tumpul ke atas. Perampasan upah, tanah, kerja dan pelanggaran hak rakyat merupakan cara utama bagi rezim
ini untuk terus berkuasa.
Atas keadaan tersebut, kami SERUNI (Serikat Perempuan Indonesia) dengan momentum Peringatan Hak Asasi Manusia
se-Dunia 10 Desember 2018 menyatakan sikap dan tuntutan:
1.
Hentikan seluruh bentuk persekusi terhadap
perempuan pejuang HAM
2.
Hentikan kekerasan dan kriminalisasi
terhadap perempuan
3.
Jalankan Land Reform Sejati dan Distribusikan
Tanah Bagi Tani Perempuan
4.
Perbaiki upah perempuan buruh pabrik dan Buruh
Tani Di Perkebunan
5.
Perbaiki kondisi kerja perempuan buruh pabrik
dan Buruh Tani Di Perkebunan
6.
Berikan kepastian kerja bagi perempuan buruh
pabrik dan Buruh Tani Di Perkebunan
7.
Hentikan penggusuran atas nama infrastruktur
dan percepatan pembangunan.
8.
Turunkan harga kebutuhan pokok, bebaskan buruh, petani dan rakyat miskin dari pajak dan berbagai
pungutan lainnya.
9.
Libatkan perempuan yang tertindas dan terhisap
dalam setiap pengambilan keputusan.
10.
Berikan kebebasan berorganisasi dan berserikat
bagi perempuan terutama perempuan buruh dan tani di pedesaan.
11. Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sekarang juga!
SERUNI menyerukan kepada seluruh perempuan dan rakyat Indonesia untuk melawan kebijakan dan tindakan fasis
Jokowi serta berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum
perempuan. Kita harus bersatu
menolak segala usaha dan cara pecah-belah terhadap kaum perempuan dan rakyat yang menjauhkan dari perjuangan
atas masalah dan tuntutan kongkret hak-hak demokratisnya.
Hidup
perempuan Indonesia!
Hidup
seluruh rakyat tertindas!
Jakarta, 10 Desember 2018
Hormat Kami,
SERUNI (Serikat Perempuan
Indonesia)
Helda Khasmy Triana Kurnia Wardani
Ketua Sekjend
Posting Komentar