Berbicara
tentang hari ibu, tak lepas dari sejarah diperingatinya tanggal 22 desember
sebagai hari ibu setiap tahunnya. Meskipun kini makna hari ibu sendiri telah
mengalami pergeseran, alangkah baiknya kita kembali membuka lembaran sejarah,
membaca dengan terang bahwa pernah ada momen berharga dimana 300 orang dari 30
organisasi perempuan dari 12 kota di jawa dan sumatera berkumpul, menggelar
kongres perempuan Indonesia untuk pertama kalinya di Dalem Jayadipuran,
Yogyakarta pada tanggal 22-25 desember 1928.
Kongres
perempuan Indonesia III yang berlangsung pada 22-27 juli 1938 di Bandung menetapkan
tanggal 22 desember sebagai hari kebangkitan perempuan. Mengapa dipilih tanggal
tersebut ialah untuk mengekalkan momen bersejarah bahwa kesatuan pergerakan
perempuan Indonesia dimulai pada 22 desember.
Kemudian tahun 1959, pemerintah dibawah
kepemimpinan presiden Soekarno menetapkan Hari Kebangkitan Perempuan sebagai
hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959), sebelum akhirnya Soeharto
mengubah Hari Kebangkitan Perempuan menjadi Hari Ibu. Pengubahan nama tersebut
jelas tak mewakili semangat perempuan dalam kongres-kongres dan perjuangan
perempuan pada masa itu.
Kini setelah 90 tahun, situasi kaum
perempuan tak banyak berubah. Masih dalam belenggu dominasi budaya feodal
patriarkal. Jumlah perempuan hampir separuh dari total penduduk Indonesia yaitu
sekitar 49% yang didominasi perempuan buruh dan perempuan tani. Namun, secara ekonomi
perempuan masih mengalami diskriminasi upah baik di pabrik maupun di sektor perkebunan/agraria,
selain itu ketimpangan kepemilikan alat produksi juga masih dialami kaum
perempuan di Indonesia, dimana akses atas tanah masih sangat dibatasi. Hal paling
mencolok yang bisa kita lihat adalah sulitnya perempuan mendapatkan hak
naturalnya terkait cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, dan hak menyusui
bayi yang baru dilahirkannya minimal selama 6 bulan.
Jumlah buruh di KBN (kawasan berikat
nusantara) Cakung adalah 80,000 dan 90% didominasi buruh perempuan, namun tak
satupun perusahaan di kawasan tersebut menyediakan fasilitas menyusui untuk
buruhnya. Banyak kampanye yang kemudian mengaburkan
problem pokok perempuan buruh. Hanya bicara soal pelecehan seksual tetapi tidak
bicara soal diskriminasi upah dan system kerja kontrak yang menyebabkan
perempuan buruh menjadi mudah dilecehkan. Kenapa perempuan tidak berani
melawan? Karena upah dan sistem kerjanya yg diskriminatif Berbeda lagi bagi buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit,
jangankan hal yang lain, hanya untuk mendapatkan cuti haid saja selangkangannya
harus disenter dan kemaluannya diraba demi memastikan bahwa buruh tersebut datang
bulan. Sungguh pelecehan seksual yang hakiki kata anak milenial masa kini
menyebutnya. Ditambah lagi upahnya yang sangat rendah dan kondisi kerja yang
buruk, semakin memiskinkan perempuan.
Di
Indonesia, jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak juga cenderung
meningkat. Menurut kementerian Pemberdayaan Perempuan, prevalensi kekerasan terhadap
anak-anak 33% dan kekerasan terhadap perempuan 30%. Sementara kekerasan seksual
terhadap anak laki-laki 8% dan prevalensi kekerasan seksual terhadap anak perempuan
3,6%. Bila anak Indonesia berjumlah 83 juta maka ada 600 ribu hingga 800 ribu kekerasan
seksual terhadap anak. Menurut Komnas Perempuan ada 259 ribu laporan kekerasan
terhadap perempuan sepanjang tahun 2017. 305 Ibu Indonesia yang meninggal
setiap 100.000 kelahiran bayi. Dari 5 juta kelahiran pertahun di Indonesia
dengan pertumbuhan penduduk 2%, maka masih ada sekurang-kurangnya 13.500 ibu
meninggal dunia setiap tahun.
Partisipasi politik perempuan juga masih
rendah. Perempuan hanya dijadikan komoditas politik merekrut suara jelang
pemilu semata. Jumlah perempuan di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif relatif
timpang dibanding jumlah laki-laki. Kuota 30% yang ditetapkan pemerintah hari
ini juga semakin membatasi peran perempuan di pemerintahan. Meskipun aturan tersebut
sudah dihapuskan, tanpa memberi solusi bagaimana menaikkan partisipasi politik
perempuan di Indonesia. Problemnya bukanlah berapa prosentase jumlah perempuan
yang harus terlibat dalam pemerintahan, namun karena masih eksisnya sistem patriarki
yang dominan di negeri setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF) ini.
Keadaan
mayoritas perempuan Indonesia adalah ironi pada saat yang bersamaan negara
membanggakan Sri Mulyani, Susi Pujiastuti, Hartati Mudaya Poo, bahkan Megawati
dan Grace Natalie. Kenapa hal ini terbelangsung, karena banyak kaum perempuan
di seluruh dunia dan di Indonesia bukanlah representasi dari kaum perempuan
pekerja dan rakyat, mereka mewakili kepentingan perempuan dari klas yang
berkuasa bahkan kepentingan imperialis dan klas-klas yang menjadi kaki tangannya di Indonesia.
Perempuan “elit” yang menjadi representasi nominal
semacam itulah yang sekarang sedang dilahirkan melalui proyek SDGs, sebelumnya
MDGs. Kelahiran perempuan semacam itulah yang sekarang sedang dilakukan melalui
persyaratan nominal “Perspektif Gender” dalam setiap proyek pembangunan di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Masifnya pembangunan infrastruktur oleh
Jokowi justru semakin meminggirkan peran kaum perempuan. Tak sedikit perempuan
dan keluarganya tergusur karena proyek bandara internasional atau proyek jalan
tol yang dibangun guna melayani kepentingan investasi.
Di aspek kebudayaan memperlihatkan
rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan, bahkan di sudut kota Jakarta yang
dengan bangga gubernurnya memberikan program KJP (kartu Jakarta pintar) masih
ada anak-anak yang sulit mengakses pendidikan. Begitu pula akses perempuan
terhadap kesehatan reproduksi. Setiap perempuan yang sudah melahirkan dipaksa
memakai alat kontrasepsi tanpa dibarengi dengan informasi yang komprehensif
akan dampak yang ditimbulkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri. Perempuan dipaksa
menanggung derita akibat dari program pengendalian jumlah penduduk karena Negara
tidak sanggup menghidupi rakyatnya.
Untuk
itu, tugas kita ialah membebaskan perempuan dari problem domestiknya. Perempuan
harus merdeka untuk bisa punya akses terhadap ekonomi. Karena letak peran
perempuan sangatlah penting untuk kemajuan arah perjuangan bangsa yang mandiri
dan berdaulat. Terbebas dari belenggu budaya feodal patriarkal karena masih
adanya monopoli tanah dan merdeka dari cengkeraman imperialisme Amerika serikat
melalui pemerintahan bonekanya di dalam negeri. Kembalikan hari ibu kepada
fitrahnya! Tanggal 22 desember ialah tonggak kebangkitan gerakan perempuan
menuntut hak-hak demokratisnya yang hingga kini masih belum terpenuhi.
Posting Komentar