Kekerasan terhadap perempuan
merupakan bentuk primitif dari dilanggengkan nya sistem feodal patriarkal di
negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia. Lewat kebijakan
dan kekuasaan nya Rezim boneka imperialis Joko widodo terus melanggengkan
sistem feodal patriarkal, seluruh kebijakan dan program imperialis Amerika Serikat
dan negara bonekanya di seluruh dunia tidak bertujuan untuk membebaskan kaum
perempuan, tetapi membelenggu kaum perempuan dalam sistem yang sama bahkan
memobilisasi kaum perempuan untuk mempertahankan sistem yang menindas dan
menghisap kaum perempuan.
Selama imperialisme masih
berdominasi di seluruh dunia, selama pemerintahan bonekanya masih berkuasa di
banyak negeri, selama itu pula krisis dan ketimpangan klas serta diskriminasi
atas perempuan pekerja, dan penindasan patriarkal kaum laki-laki tetap dilestarikan
dan bahkan digunakan untuk mempertahankan sistem. Sudah periode kedua Joko
Widodo menjabat sebagai presiden tetapi kasus kekerasan terhadap perempuan
tidak pernah selesai bahkan meningkat setiap tahun nya.
Jumlah kasus kekerasan terhadap
perempuan yang dilaporkan pada tahun 2019 meningkat sebesar 6 %. Jumlah kasus
kekerasan terahadap perempuan tahun 2019 sebanyak 431.471 kasus, jumlah ini
meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 406.178. Berdasarkan
data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang
paling tinggi sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP (ranah personal)
yang mencapai angka 75% (11.105 kasus).
(CATAHU Komnas Perempuan 2020)
Untuk kekerasan di ranah rumah
tangga/relasi personal, selalu sama seperti tahun-tahun sebelumnya kekerasan
terhadap istri menempati peringkat pertama 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan
terhadap anak perempuan sebanyak 2.341 kasus (21%). Kekerasan terhadap anak
perempuan di tahun ini meningkat di banding tahun 2018, mengalahkan kekerasan
dalam pacaran 1.815 kasus (16%), sisanya adalah kekerasan mantan suami,
kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. (CATAHU
Komnas Perempuan 2020)
Kekerasan terhadap perempuan di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ada sebanyak 329 kasus pada 2019. 184 kasus
adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 43 kasus kekerasan dalam
pacaran, 32 kasus perkosaan, 35 kasus pelecehan seksual, 31 kasus kekerasan
dalam keluarga (nonpasangan), perdagangan manusia 1 kasus dan lain-lain 3
kasus. (sumber: Rifka Annisa Woman Crisis Center, medcom.id)
Di masa pandemi ini kekerasan
terhadap perempuan rentan terjadi, kebijakan dan upaya pemerintah dalam
menangani covid-19 masih sangat jauh dari aspirasi masyarakat. 2,8 juta lebih
buruh di indonesia di PHK dan dirumahkan (sumber: cnbcindonesia) hal tersebut
merupakan salah satu dampak dari upaya pemerintah yang tidak serius menangani
covid-19 ini, akibatnya rakyatlah yang paling banyak terkena dampaknya.
Struktur sosial patriarkal,
perempuan yang menggantungkan hidupnya dari penghasilan suaminya, dan suaminya
itu adalah seorang buruh yang di-PHK atau dirumahkan. Dengan kondisi seperti
ini, perempuan (istri) yang harus memastikan dapurnya terisi, anggota keluarganya bisa makan hari ini dan esok. Perempuan yang terkena dampak dua kali lebih
hebat, tidak adanya pemasukan ekonomi menjadi pemicu pertengkaran dan kekerasan
dalam rumah tangga.
Lembaga
Bantuan Hukum – Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta
merilis temuan bahwa kekerasan terhadap perempuan selama pandemi COVID-19,
khususnya sejak diterapkannya kebijakan social distancing dan work from home,
mencapai 97 kasus. Jumlah ini cukup besar dalam kurun waktu satu bulan 16 maret
– 19 april, dan kasus tertinggi adalah kekerasan dalam rumah tangga hingga 33
kasus. (beritabaru.co)
Tidak adanya keberpihakan dari
negara terhadap perempuan terlihat dari pengadilan perceraian yang mana pihak
yang mengajukan gugatan cerai harus menanggung biaya pengadilan. Kenyataan tersebut
tentu sangat memberatkan bagi perempuan yang sudah berkeluarga dan mengalami KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) kemudian memilih untuk mengakhiri pernikahan
tersebut, sebab di tengah perempuan yang menggantungkan hidupnya secara ekonomi
dari pendapatan suami akan sulit bagi perempuan untuk bisa megajukan gugatan
cerai akibat tidak memiliki uang untuk membayar pengadilan agar perceraiannya
dapat diproses oleh pengadilan.
Ketimpangan
akibat dari diskriminasi secara ekonomi yang dialami oleh kaum perempuan telah
menyebabkan dirinya tidak memiliki pilihan yang luas terhadap hidupnya.
Keberanian perempuan untuk mengambil pilihan-pilihan diluar dari keadaannya
selalu membentur keadaan yang semakin menyulitkan bagi dirinya. Bergantungnya
perempuan (istri) pada ekonomi dari hasil pendapatan suaminya menyebabkan
perempuan untuk tidak berani mengambil tindakan untuk bercerai ketika terus
mangalami tindakan kekerasan dan perlakuan tidak adil lainnya akibat gambaran
tentang bagaimana ia dapat membiayai proses persidangannya dan bagaimana ia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari selama masa proses perceraian dan
setelah bercerai, telah banyak membuat kaum perempuan untuk terus pasrah dan
menerima kenyataan atas hidup yang mereka alami.
Seperti kasus yang di dampingi
oleh Seruni Yogyakarta, Anis (nama samaran) adalah Ibu Rumah Tangga, memiliki
dua orang anak dan hanya bergantung hidup dari penghasilan suaminya. Satu tahun
terakhir ini Anis sudah tidak dinafkahi, bahkan Anis sering mengalami
kekerasan oleh suaminya. beberapa kali Anis ditonjok, ditendang, dikalungi
celurit, bahkan diseret di tangga rumah.
Anis tidak bisa melawan karena ketika ia melawan, suaminya akan lebih
menyiksanya.
Sudah hampir satu tahun suami
Anis tidak pernah pulang kerumahnya, sesekali pulang kerumah dengan keadaan
mabok alkohol. Pada saat itu Anis sedang tidur dengan anak terakhirnya lalu
suaminya pulang dalam keadaan mabok langsung menendang Anis di depan anaknya.
Dengan keadaan tersebut Anis
sudah tidak sanggup lagi untuk mempertahankan rumah tangganya. Pada awal 2020
Anis ingin mengajukan cerai. Mengingat Anis tidak punya penghasilan untuk
membayar pengadilan dan kebutuhan hidup sehari-hari untuk dia dan dua orang
anaknya, maka Seruni Yogyakarta menggalang solidaritas untuk membantu Anis.
Ditengah kondisi Anis yang hanya hidup dari menggantungkan penghasilan suaminya
dan jika ia bertahan itu menyiksanya, negara juga memeras Anis untuk membayar
pengadilan untuk bercerai.
Melihat hal tersebut di negara
yang masih melanggengkan feodal patriarkal, kekerasan terhadap perempuan tidak
akan pernah bisa dihilangkan. Sistem feodal patriarkal ini yang terus
memelihara bahwa perempuan masih di-nomorduakan. Maka tidak ada pilihan lain
bagi kaum perempuan untuk bersatu dan berjuang melawan kekerasan dan
mengahuncurkan sistem yang terus membuat perempuan tidak berdaulat secara
ekonomi, politik dan kebudayaan.
Seruni Yogyakarta juga mengajak
kawan-kawan untuk dapat bersolidaritas membantu Anis untuk membiayai kehidupan
dan proses persidangannya.
Bantuan dapat disalurkan melalui Rekening
Mandiri 9000045628097 a/n Ana Mariana Ulfah
BRI 100801005346537 a/n Ana Mariana Ulfah
Info lebih lanjut hubungi
Cp : 0852-9391-6838
Posting Komentar