Pernyataan
Sikap
Front
Perjuangan Rakyat (FPR)
Bebaskan Rakyat Dan Bangsa Seluruh Dunia Dari Kekuasaan
Imperialisme-Membebask an Perempuan Dari Kekerasan Selamanya!
Sikap Dan Tuntutan
Dalam Rangka Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Sedunia
25 November 2020
Ayo Sama Berjuang Untuk Menghancurkan Imperialisme Sebagai
Syarat Untuk Membangun Sistem Baru Sesuai Aspirasi Kebebasan Dan Kemajuan
Perempuan Dan Seluruh Rakyat Dan Bangsa Tertindas Dan Terhisap Di Indonesia dan
Dunia
Salam Demokrasi Rakyat,
Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November
2020 adalah bagian dari serial kampanye massa organisasi dan gerakan massa
demokratis nasional dengan Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember 2020 sebagai
puncaknya.
Kita memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Hari Hak Asasi Manusia Internasional kali ini secara tidak biasa, di tengah
resesi dan Pandemi Covid-19. Resesi dan Pandemi Covid-19 tidak saja memberikan
beban ganda bagi kaum perempuan, tetapi melipatgandakan penindasan dan penghisapan
NEGARA dan Klas yang berkuasa-pemilik negara melalui beragam bentuk diskriminasi
dan pelestarian kekuasaan Patriarki kaum laki-laki atas perempuan yang
berkelanjutan. Bahkan NEGARA dan klas reaksioner yang berkuasa secara
berkelanjutan tidak segan-segan menggunakan agama dan “masyarakat” untuk
memperkokoh dominasinya atas kaum perempuan, agar tidak kemana-mana, tetap
menjadi penjunjung sistemnya apapun keadaannya.
Sekarang dunia telah berada di abad-21. Kekerasan terhadap
kaum perempuan jangankan berkurang dan menghilang, bentuk dan intensitasnya
justru terus bertambah, semakin barbar dan brutal. Bahkan beberapa bentuk dari
kekerasan itu telah dianggap sebagai tradisi suci dan mulia yang harus
dipertahankan dengan berbagai dalih. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih
terus memelihara bahkan tidak henti-hentinya membuat badan-badan khusus bagi
kaum perempuan seperti U.N Women dalam setiap organ kekuasaan politik, ekonomi
dan kebudayaannya. Cerminan dari kegagalan bahkan kepalsuan sistematis dalam
mewujudkan kesetaraan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam
kebebasan dan kemajuan bersama.
Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah kekerasan paling
tua, brutal dan primitif dalam sejarah perkembangan masyarakat di dunia. Ia
adalah warisan dari masyarakat berklas pertama, masyarakat kepemilikan budak
yang masih bersisa. Kekerasan terhadap kaum perempuan memiliki karakter klas,
basis ekonomi dan politik yang hanya ada dalam masyarakat berklas. Perjuangan
mengakhiri kekerasan terhadap kaum perempuan hanya dapat dilakukan dengan jalan
mengakhiri basis ekonomi, politik, kebudayaan bahkan kemiliteran yang
membenarkan kedudukan kaum perempuan sebagai barang dagangan atau komoditas,
sebagai harta dan perhiasan, dikecualikan dari kepemilikan atas alat produksi
dan tetap direndahkan partipasinya dalam kerja dan disikriminasi dalam
pembagian hasil kerja. Bagaimana pun tinggi dan hebat puja-pujinya negara dan
klas yang berkuasa pada kaum perempuan hanyalah rayuan belaka dan deklarasi machoisme untuk kepentingan kekuasaan klas
berkuasa itu sendiri. Tidaklah mengherankan, Laporan U.N Women 2020 menyebutkan
bahwa negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat menunjukkan angka kekerasan
naik berkali-lipat selama resesi dan Pandemi Covid-19. Mereka tidak bisa
mempertahankan kebersamaan dengan pasangannya. Kekerasan primitif dan brutal
seperti kekerasan seksual bahkan oleh orang terdekat dari pasangan sendiri dan
keluarga terdekat meningkat tajam perlahan menjadi fenomena biasa. Kekerasan di
wilayah perang tidak perlu dijelaskan lagi. Badan Pengadilan Internasional
sebagai pelaksana Protokol Perang Internasional tidak bisa menghakimi tentara
manapun yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Imperialisme, sistem dunia yang berkuasa saat ini adalah
bentuk tertinggi dan penghabisan dari kapitalisme yang tengah sekarat atau sakaratul-maut, parasitisme dan terus
membusuk. Di tengah krisisnya yang parah dan tidak terobati, kekerasan terhadap
perempuan justru menjadi salah-satu alasan penting sistem ini bisa bertahan
hidup hingga sekarang. Kekerasan terhadap perempuan hanya akan berakhir apabila
dominasi imperialisme atas bangsa dan rakyat di dunia bisa dihancurkan.
Kenyataannya, mayoritas tenaga produktif seluruh bangsa dan rakyat itu adalah
kaum perempuan!
Penindasan dan penghisapan terhadap kaum perempuan di
Indonesia memiliki sejarah panjang, semakin kelam dari waktu ke waktu. Negara
reaksioner milik klas borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar, dua klas
kaki tangan imperialis di Indonesia melestarikan diskriminasi, sistem patriarkal
kaum laki-laki, menggunakan agama dan masyarakat untuk menindas dan menghisap
kaum perempuan. Jutaan keluarga di Indonesia menikah dan berpisah karena alasan
kekerasan. Pernikahan di bawah umur masih berlangsung, satu dari lima gadis
belia terpaksa menikah karena kekerasan
seksual berbagai bentuknya yang berakar pada masalah ekonomi, politik dan
pengetahuan yang terbatas. Jutaan perempuan mempertahankan keluarganya dan
membiarkan kekerasan terus berlangsung untuk menghindari kekerasan yang lebih
akut, tindasan agama dan perlakuan masyarakat yang sepenuhnya didominasi ide
dan pikiran klas yang berkuasa.
Di Indonesia, mayoritas kaum perempuan tidak memiliki
kebebasan secara ekonomi, karenanya tidak memiliki syarat memiliki kebebasan
secara politik dan kebudayaan. Hanya perempuan dari klas borjuasi besar
komprador dan tuan tanah besar yang bisa menikmati kebebasan dengan jalan
merampas kebebasan perempuan pekerja lainnya. Mempersoalkan kekerasan yang
sudah terlanjur disahkan sebagai haknya suami dan kaum laki-laki sama dengan membuka
jalan bagi kekerasan lanjutan yang lebih brutal, aib, kehilangan keluarga dan
martabat. Karena itu, meskipun hidup dalam kekerasan, mayoritas kaum perempuan
memilih bungkam dan membawa masalahnya sebagai rahasia hingga kematiannya.
Penelitian Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) pada
bulan Mei 2020, 95% keluarga di Indonesia khususnya kaum perempuan menderita
stres karena Kebijakan Di Rumah Saja atau Isolasi Mandiri dan Pembatasan
Mobilitas. Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah ekspresi dari kesenjangan
ekonomi dan perjuangan klas kaum perempuan dari berbagai klas dan sektor di
seluruh dunia dan Indonesia. Berbagai bentuk kekerasan fisik dan fisik masih
sangat luas dan intensif bahkan meningkat berkali-lipat karena kebijakan
imperialis dan negara bonekanya di seluruh dunia dalam penanganan COVID-19.
Isolasi mandiri, pembatasan mobilitas, pelayanan kesehatan bahkan panjangnya
waktu yang dihabiskan bersama oleh keluarga, suami-istri dan anak-anak di ruma h,
justru semakin menunjukkan kerapuan dan kepalsuan “institusi keluarga” secara
ekonomi, politik maupun kebudayaan.
Kehidupan bersama 24 jam di rumah justru menciptakan banyak pertengkaran karena
ekonomi, perbedaan pendapat tentang hari depan, sikap, dan akhirnya
meningkatkan perpisahan atau perceraian. Protokol
Penanganan Kekerasan Atas Perempuan dan Anak hanyalah pelepas tanggung-jawab
negara. Dibuat untuk melindungi diri, meunjukkan dirinya seolah-olah komitmen
dalam hal anti kekerasan atas perempuan dan anak serta sengaja dibuat untuk
menghakimi rakyat jelata.
Setelah mempersulit syarat ekonomi bagi kaum perempuan untuk
independen secara ekonomi melalui Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja No.11 Tahun
2020 yang berarti melipat-gandakan bara dalam sekam kekerasan bagi kaum
perempuan, Pemerintah RI bersama dengan
DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual),
mencegah kekerasan ! Berikutnya berencana membuat Undang-Undang Ketahanan
Keluarga. Memaksa kaum perempuan mempertahankan keluarganya biar pun harus
menghadapi kekerasan brutal dan pertengkaran berkelanjutan karena kondisi
ekonomi, karena dominasi ide dan pikiran klas yang berkuasa atas ide dan
pikiran rakyat tertindas dan terhisap.
Kalangan terpelajar, gerakan perempuan konservatif dan
feminis liberal meminta undang-undang PKS segera disahkan. Negara dan
pemerintah RI serta kalangan perempuan intelektual pendukungnya merasa telah mempersenjatai
ibu, gadis dan remaja perempuan, anak-anak perempuan untuk melindungi dirinya
dari kekerasan yang sekali lagi berakar pada ketidak-adilan kepemilikan,
ketidak-bebasan politik dan budaya. Mereka merasa dengan undang-undang itu,
perempuan miskin harta dan pengetahuan serta pengangguran dapat melindunginya
di dalam rumah dan di jalanan dari kekerasan brutal fisik dan non-fisik yang
mengintai. Undang-undang itu hanyalah perisai bagi klas yang berkuasa yang
berlumur kekerasan untuk melindungi diri, melindungi kepentingan klasnya
sendiri. Melindungi perempuan dari kekerasan berarti memberikan hak demokratis atau
kesetaraan bagi kaum perempuan dalam kepemilikannya atas alat produksi dan
kedudukannya dalam hubungan produksi dalam sistem ekonomi yang berlaku.
Memberikan kesetaraan bagi kaum perempuan adalah menjamin hak perempuan untuk
bebas tanpa syarat ambil bagian dalam kerja politik dan kerja kebudayaan.
Pencabutan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang mengatur kedudukan
laki-laki beserta hak dan kewajibannya dalam perkawinan memelihara ketimpangan
tidak saja secara kebudayaan tetapi secara ekonomi dan politik. Kedudukan
semacam itu adalah api dalam sekam bagi kekerasan terhadap perempuan.
Klas buruh dan kaum tani sebelum dan terlebih lagi selama
pandemi Covid-19 menderita kesulitan ekonomi luar biasa yang membuatnya harus
hidup di tengah pusaran kekerasan domestik, kekerasan jalanan karena
menningkatnya angka kriminalitas dan bila nanti ambil bagian dalam aksi
menuntut perbaikan hidup ia langsung berhadapan dengan kekerasan negara,
termasuk kekerasan yang berbasis pada peraturan baru Covid-19. Kaum tani perempuan,
buruh perempuan dan para perempuan pedagang dan produser kecil, kaum perempuan
interlektual perkotaan demokratis dan profesional menghadapi kesulitan yang
sama. Negara RI gagal menyeimbangkan antara harga keperluan pokok impor dengan
upah dan pendapatan di pabrik-pabrik dan tempat kerja lainnya. Kebijakan yang
diambil, “membiarkan harga” kebutuhan pokok melonjak naik atau sangat
fluktuatif, sementara upah dipertahankan secara nominal dan dibekukan
kenaikannya dengan berbagai kebijakan dan peraturan. Klas buruh perempuan yang
tinggal dengan pasangannya di bedeng-bedeng kumuh terpaksa memilih
mempertahankan upah minimum daripada harus kehilangan pekerjaan karena memperjuangkan
kekerasan sistematis yang menimpa diri dan kawannya dalam pabrik. Kehilangan
pekerjaan dan upah, tidak naiknya upah, naiknya harga keperluan fisik minimum
adalah bom waktu bagi lahirnya beragam bentuk kekerasan yang siap meledak kapanpun
dalam keluarga dan bisa berujung pada perceraian.
Negara dan pemerintah gagal menjalankan land reform sejati,
tidak ada kesetaraan kepemilikan tanah di pedesaan antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan tetap menghadapi pengecualian dalam kepemilikan dan juga
terisolasi dari perjuangan untuk mewujudkan land reform sejati. Saat ini biaya input
pertanian terus membengkak dan harga hasil produksinya terus turun dan sangat
fluktuatif. Sementara harga keperluan kaum tani yang terus membengkak.
Kemiskinan dan pengangguran massal merajalela di pedesaan. Dalam satu keluarga
hanya satu dari lima orang yang bekerja. Pertengkaran dalam keluarga pedesaan
lebih intensif daripada “makan dan minum”. Hanya keterbatasan pengetahuan,
“Agama” dan “pandangan masyarakat” yang masih membuat keluarga masih bersatu di
pedesaan. Karena terlalu miskin, tidak ada harapan untuk mengirim anaknya ke
sekolah dan universitas, anak-anak kehilangan semangat belajar, mulai bekerja
di usia dini, dan sejak itu bapak dan ibunya yang penuh keterbatasan pengetahuan
kehilangan otoritas untuk mendidiknya dengan nilai-nilai tradisional yang baik.
Kekerasan terhadap anak dan pasangan dimulai dan terus berlangsung intensif
serta meluas hingga sekarang.
Di Hari Anti Kekerasan Perempuan 25 November 2020 kali ini,
FPR kembali menegaskan bahwa syarat bagi pembebasan kaum perempuan yang
sebenarnya adalah hancurnya imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat
di Indonesia. Kaum perempuan dan laki-laki harus setara dalam kepemilikan atas
alat produksi, dalam kerja dan distribusi hasil kerja, dalam kebebasan dan
kemajuan. Karenanya kaum perempuan dan bersama-sama dengan seluruh rakyat
tertindas dan terhisap lainnya di Indonesia harus bangkit, ambil bagian bebas
dalam perjuangan Land Reform sejati di
pedesaan di seluruh Indonesia dan membangun industri nasional sebagai basis
bagi kelahiran sistem kemasyarakatan yang bebas, adil dan maju.
Di Hari Anti Kekerasan Perempuan ini juga FPR dengan tegas
menuntut pada negara RI :
1. Bertanggung jawab atas seluruh kekerasan terhadap perempuan
di dalam rumah dan keluarga, di jalanan serta di seluruh tempat kerja karena
gagal menciptakan syarat bagi kaum perempuan untuk independen secara ekonomi, karena
belenggu politik atas kaum perempuan, karena dengan sengaja mendominasi ide dan
pikiran kaum perempuan Indonesia dengan ide dan pikiran konservatif dan liberal
milik klas berkuasa yang didikte imperialisme.
2. Memberikan akses tanpa syarat bagi anak-anak perempuan,
remaja perempuan untuk sekolah dan memasuki universitas tanpa pertimbangan
ekonomi, politik dan kebudayaannya.
3. Bertanggung jawab atas pernikahan di bawah umur, dan tidak
lagi membiarkannya dengan alasan apapun. Memastikan seluruh kaum perempuan
tidak menjadi komoditas dalam proses perkawinan dengan dalih apapun, termasuk
menghapus biaya pencatatan pernikahan pada negara.
4. Mencabut seluruh kebijakan dan regulasi yang membuat
perempuan tidak setara dengan laki-laki, merendahkan perempuan sebagai tenaga
produktif dan dalam produksi. Melenyapkan seluruh diskriminasi atas kepemilikan
dan upah untuk pekerjaan yang sama.
5. Menjamin kaum perempuan bebas dari kekerasan untuk ambil
bagian dalam organisasi massa demokratis nasional dan ambil bagian dalam aksi
massa memperjuangkan hak-hak demokratisnya dalam situasi apapun dan dengan
alasan apapun.
6. Beri jaminan ekonomi bagi rakyat khususnya kaum perempuan
buruh dan tani tanpa diskkriminasi, guru honorer dan pekerja kesehatan honorer,
pedagang dan pengrajin kecil serta kaum intelektual perkotaan.
7. Jalankan land reform sejati dan industri nasional sebagai
jalan keluar satu-satunya pembebasan bangsa dan rakyat Indonesia dari sistem
terbelakang dan PENUH KEKERASAN-Setengah Jajahan Dan Setengah Feodal.
Demikian pernyataan ini disampaikan untuk dipahami dan
dipenuhi.
Bersatulah Kaum Perempuan Dari Rakyat Tertindas Dan Terhisap
Indonesia !
Kobarkan Perjuangan Demokratis Nasional Untuk Land Reform
Sejati Dan Indistri Nasional !
Jayalah FPR.
Jakarta, 25 November 2020
Hormat kami
Rudi HB. Daman Koordinator Umum
Aliansi Gerakan Reforma
Agraria (AGRA), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Pemuda Baru Indonesia
(PEMBARU-Indonesia), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Serikat Perempuan
Indonesia (SERUNI), Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), Keluarga
Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Institute for National and Democracy
Studies (INDIES)
Kontak
Person Dimas: 085311348678
Posting Komentar