Mari bersama bangun sistem baru, akhiri dominasi imperialism sebagai akar perampasan hak-hak rakyat terhisap dan tertindas di Indonesia dan dunia.
Salam demokrasi nasional,
72 tahun silam, tepatnya 10 Desember 1948 adalah
momentum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human
Rights). Hari bersejarah bagi perjuangan klas dimana seluruh negeri baik
sosialis maupun imperialis mengakui adanya hak setiap manusia baik sebagai bangsa
dan individu. Pengakuan bahwa rakyat punya hak untuk bebas dan merdeka, berpikir
dan bekerja meraih kemajuan secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Kini,
setiap 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional
(International Human Rights Day).
Sejak
awal abad 20 dan masih hingga sekarang, di awal abad 21, mayoritas bangsa dan
rakyat se-dunia menjadi korban dominasi
kapitalisme yang telah menjadi sangat kejam, membusuk, sekarat dan parasitis
yaitu, sistem kapitalisme monopoli internasional atau imperialisme. Di bawah
dominasi imperialisme, mayoritas rakyat tidak memiliki hak, bahkan harapannya
di lapangan ekonomi, politik dan kebudayaan ditindas oleh negeri adikuasa
Amerika Serikat dan sekutunya. Sementara di dalam negerinya sendiri harus
berhadapan dengan pemerintahan yang bergantung pada dikte imperialis adikuasa atau
menjadi pemerintahan boneka imperialis yang tidak kalah kejamnya.
Imperialisme
bertanggung jawab atas banyaknya pengangguran, kemiskinan dan kelaparan serta
lahirnya berbagai jenis pembagian kerja baru dan berbagai cara mencari hidup
yang ekstrem sulitnya di dunia. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut,
bangsa dan rakyat tertindas dan terhisap se-dunia menjadi korban sekaligus
saksi dari ketimpangan kepemilikan, ketimpangan kedudukan dalam produksi dan
alokasi yang sangat tidak adil dalam pengusahaan distribusi hasil kerja secara
merata. Karena itu mereka berusaha bangkit membebaskan diri sepenuhnya dari
cengkeraman sistem tersebut dan sistem setengah jajahan dan setengah feodal.
Ketika klas buruh dan para pekerja lainnya juga bangsa-bangsa mulai bangkit
kesadarannya dan memberontak untuk menghancurkan sistem ini, kebebasan
berorganisasi dan berpendapat, hak untuk memberontak segera dibatasi dan
dibeberapa negeri dinyatakan sebagai makar atau subversif. Dan hak untuk
membangun sistem baru yang berbeda harus berhadapan dengan perang agresi dan
intervensi imperialis.
Imperialisme
dunia dibawah adikuasa tunggal AS adalah masalah pokok bangsa dan rakyat tertindas dan terhisap di dunia.
Sistem ini melestarikan kesenjangan klas dan krisis, mengukuhkan hak istimewa
bagi segelintir klas bermilik atas kekayaan dunia. Saat ini, 1% orang menguasai
kekayaan yang setara bagi 60% rakyat dunia atau lebih dari 4,6 miliar orang. Rakyat
mayoritas tak bermilik kehilangan hak dan kebebasan bekerja, berfikir, dan
menentukan nasibnya secara independent. Mereka hidup dari menjual tenaga dimana
hasilnya dinikmati oleh segelintir orang yang menguasai kapital uang dan barang
(tanah dan mesin industri). Meski menghadapi krisis terburuk dalam sejarah,
dominasi imperialism AS belum tergantikan.
Mayoritas
rakyat Indonesia adalah kaum tani, bekerja dan bergantung hidup pada tanah
garapan yang cukup, berharap input pertanian dan sistem irigasi yang murah, dan
tenaga kerja pertanian dengan
pengetahuan maju dan terampil serta teknologi dan alat pertanian yang maju.
Akan tetapi kenyataan berlawan dengan kepentingan dan aspirasi mayoritas kaum
tani.
Di
Indonesia, angka kesenjangan lahan mencapai
0,68% (BPS, 2013). Artinya, 1% tuan tanah besar menguasai 68% tanah pertanian. Sebagaian
besar dikuasai oleh tuan tanah besar yang terhubung langsung dengan imperialis.
Mereka menggunakan tanah tersebut untuk operasional perkebunan besar sawit,
perkebunan kayu besar, perkebunan karet, perkebunan besar tebu, pertambangan
besar dan taman nasional. Keadaan ini menyebabkan 70% persen poluasi Indonesia hidup
sebagai kaum tani yang mayoritasnya adalah tani miskin dan buruh tani yang dipaksa
hidup berdampingan dengan tuan tanah besar. Mereka kehilangan hak menentukan
tanaman produksi, distribusi, harga hasil produksi, bahkan kehilangan
kesempatan berfikir, mengembangkan pengetahuan dan kemampuan subsistensinya. Hari
demi hari, semakin tenggelam dalam penghisapan sewa tanah dalam sistem
pertanian setengah feodal, utamanya bagi hasil yang tidak adil, peribaan dalam
produksi dan perdagangan, serta upah buruh tani yang extrim rendahnya.
Klas buruh merupakan 20% dari populasi Indonesia yang hidup
di perkotaan tak berhak bekerja dalam industri modern dan maju. Karena yang ada
hanya manufaktur pengolahan setengah jadi (semi-processing) untuk komoditas
ekspor murah mengandalkan teknologi rakitan (assembling) dan terbelakang. Mereka
tidak berhak atas kondisi kerja yang baik apalagi mendapatkan bayaran sesuai hasil
kerjanya. Tenaga buruh dihargai dengan upah sangat rendah, yang hanya cukup
untuk bertahan hidup seadanya.
Kondisi ini semakin buruk dalam resesi dan pandemi. Upah buruh
industrial semakin dipangkas, upah buruh tani ditekan rendah, riba utang
semakin mencekik. Sedangkan harga kebutuhan hidup, produksi pertanian dan biaya
layanan publik semakin fluktuatif bahkan meningkat. 3,5 juta orang kehilangan
pekerjaan bahkan terus bertambah, 30 juta pedagang kecil bangkrut, tetapi hak
atas pekerjaan yang baru semakin tertutup. Pemerintah bahkan sudah memperkirakan
bahwa di tahun 2021, pengangguran akan semakin meningkat.
Keterpurukan rakyat secara ekonomi juga diiringi dengan
hilangnya hak rakyat untuk melawan sistem yang buruk. Sebagai manusia, rakyat
memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (Right to Self Determination),
berhak bebas dari penghisapan dan penindasan sistem yang tidak adil, termasuk menentang
dominasi imperialisme yang lapuk dan sistem setengah jajahan di Indonesia saat
ini.
Joe Biden yang akan menggantikan presiden
Donald Trump akan memimpin pemulihan krisis imperialis. Rakyat di seluruh dunia
dipaksa menanggung beban krisis melalui pemaksaan utang dan investasi AS, serta
intervensi politik dan militer. Namun, hal ini tidak lagi mudah. Imperialis AS semakin
sulit mendamaikan kontradiksi yang menajam di dalam tubuhnya, begitupun dengan kekuatan
baru yang tumbuh dan negeri-negeri lainnya yang menolak tunduk dibawah sistem
kapitalisme. Tentangan atas agresi dan intervensi AS juga semakin menguat di
berbagai belahan dunia. Perlawanan rakyat di dalam negeri AS dan seluruh dunia terus
tumbuh, meluas, dan semakin memerosotkan imperialis AS ke dalam jurang
kehancuran. Meski demikian, semua ini belum cukup untuk membebaskan rakyat dan
mengembalikan hak-hak yang telah dirampas.
Imperialis
AS bersama Institusi keuangannya, World Bank telah memastikan pemerintahan
Boneka Jokowi-Ma’ruf untuk mengimplementasikan secara penuh program dan
kebijakan baru neoliberal di Indonesia melalui UU No.11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (omnibus Law). Indonesia juga telah berkomitmen melayani program
strategis AS dalam “Visi Bersama bagi Kebebasan dan Keterbukaan di Kawasan
Indo-Pasifik (Shared Vision of a Free and Open Indo-Pacific Region”). Program
yang melayani keleluasaan AS atas lalu lintas laut, zona terbang, kontrol
perdagangan dan menekan pergerakan China dan kekuatan lainnya. Sedangkan untuk
jaminan keberlanjutan ekspor komoditas bagi pasar AS, Indonesia telah
mendapatkan perpanjangan Generalized System of Preferences (GSP) facility dari
pemerintah AS. Fasilitas GSP akan semakin memperkuat politik upah murah dan
beban kerja berlipat bagi klas buruh untuk melayani produksi komoditas ekspor
barang murah.
Krisis
dan pandemi Covid-19 justru dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan bagi
korporasi imperialis dan tuan tanah besar. Masa pandemic kini memasuki babak
baru setelah penerapan lockdown dan pengambilan utang besar-besaran. Indonesia
dan berbagai negeri lainnya menjadi pasar untuk akumulasi keuntungan dari
bisnis vaksin milik farmasi imperialis, khususnya AS. Vaksin Pfizer (AS), Astra
Vineca (Inggris) dan Sinopex (China) siap dipasarkan dengan dalih pemulihan
kesehatan dan pencegahan Covid-19 di Indonesia.
Pemerintah
Indonesia tidak mau belajar dari kegagalan akibat ketergantungan pada
imperialis. Indonesia kini menempati peringkat ke-7 dari 120 negara dengan
utang luar negeri terbesar. Ekonomi Indonesia jatuh ke jurang resesi sejak kuartal-II tahun 2020 dan
berlanjut pada kuartal- III
dengan pertumbuhan negatif 3,49
%. Pandemic Covid-19 dimanfaatkan untuk menindas hak-hak rakyat dan membungkam
gerakan rakyat yang menentang penghisapan dan penindasan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dikeluarkan tanggal 31 Maret 2020 tentang PSBB
dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Penanganan COVID-19.
Kenyataannya, kehidupan
rakyat justru semakin merosot. Rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan
hidupnya karena pendapatan sangat rendah bahkan tidak ada. Di bawah
pemerintahan Jokowi, tindasan dan perampasan hak-hak rakyat di masa pandemic
terus meningkat. Periode pemerintahan Jokowi, berbagai kasus pelanggaran HAM
terus meningkat dan ditangani secara diskriminatif dengan menggunakan kekuatan
negara (alat kekerasan) secara berlebihan. Laporan World Report 2020 oleh Human
Rights Watch menunjukkan kasus-kasus yang menjadi bukti berbagai bentuk
pelanggaran terahdap hak sipil politik, yakni; kebebasan beragama, kebebasan
berekspresi dan berorganisasi, kak perempuan dan perempuan anak, isu Papua,
identitas gender dan orientasi seksual, hak disabilitas, hak lingkungan, dan
hak masyarakat adat.
Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada
28 Oktober 2005 melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR). Terhadap Kovenan ini, Indonesia melakukan Deklarasi
yang intinya pemerintah Indonesia tidak mengakui penegakan
Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai sebuah negara yang berdaulat. Namun, semua
kenyataan pahit dari penderitaan dan masalah rakyat di bawah sistem ini harus
membuka kesadaran bahwa rakyat tidak boleh lupa dan kehilangan hak untuk
membangun sistem yang tepat bagi kehidupan dan kemajuan.
Perjuangan
kita ingin menuntaskan kebingungan rakyat diantara sistem “setengah-setengah’
ini, dan berhak menentukan sistem mana yang akan dipakai. Kita tidak akan
mungkin memilih kembali ke feodalisme dimana hanya raja yang memiliki tanah dan
dengan demikian berkuasa atas tenaga kerja. Tidak mungkin juga kembali ke masa
perbudakan dimana rakyat akan dirantai dan sepenuhnya dimiliki oleh tuan budak.
Kita sadar bahwa belum semua rakyat
mengetahui hak-hak mereka. Di saat yang sama, tatanan dunia dibawah dominasi
imperialism, tidak akan memberikan hak-hak tersebut dengan mudah tanpa
perlawanan sengit dari rakyat dan berbagai bangsa. Di negeri yang menyatakan
merdeka dan maju sekalipun, hak-hak rakyat tidak terpenuhi, apalagi di
Indonesia sebagai negeri setengah jajahan setengah feudal.
Tetapi rakyat tidak tinggal diam. Dengan segala bentuk dan
kemampuannya, aksi protes dan perlawanan terus tumbuh. Tuntutan untuk mengganti
sistem terus meluas. Ketidakpercayaan terhadap rezim merupakan ekspresi
utamanya. Meski dengan berbagai intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan, rakyat
di perkotaan dan pedesaan terus menunjukkan keberanian berlawan. Ekspresi ini
harus disambut dengan pengorganisasian yang lebih kuat dan maju. Secara khusus,
situasi di Indonesia membutuhkan bantuan dan dukungan secara internasional
untuk memperbesar perjuangan rakyat dalam rangka menjalankan land reform sejati
dan industri nasional untuk kemajuan hidup rakyat.
Dengan
kenyataan ini, di Hari Hak Asasi Manusia Internasional, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyatakan
tuntutan kepada pemerintah Indonesia, yakni:
1.
Penuhi hak rakyat atas tanah, pekerjaan, dan kekayaan
alam untuk memajukan kesejahteraan rakyat
2.
Hentikan segala bentuk tindasan terhadap hak rakyat atas
kebebasan berpikir, berpendapat, berorganisasi, hak menentukan nasib sendiri
bagi rakyat Indonesia.
3.
Bagi Hasil yang adil bagi para penggarap di
perkebunan besar kayu, sawit, karet, gula, komoditas ekspor lainnya milik
Imperialis dan Tuan Tanah Besar tingkat nasional.
4.
Berikan Upah Buruh Tani yang lebih baik di
perkebunan besar milik Imperialis dan Tuan Tanah besar tingkat nasional.
5.
Hapuskan Peribaan di Pedesaan.
6.
Perbaiki harga komoditas dan harga keperluan
hidup kaum tani.
7.
Sediakan Input Pertanian, peternakan dan
perikanan dari industri nasional sendiri, bukan produksi paten di bawah lisensi
dan tidak berbahan baku impor serta tidak bersumber pada pendanaan hutang dan
investasi asing.
8.
Sediakan Alat-Alat Pertanian Modern yang mudah
di akses oleh kaum tani.
9.
Sediakan Sistem Pendidikan dan Kesehatan yang
lebih baik di Pedesaan. Sediakan Rumah sakit bersalin dan pusat perawatan
anak-anak yang maju, murah dan mudah di jangkau di seluruh pedesaan Indonesia.
10.
Hapus semua pajak atas seluruh komoditas kaum
tani
11.
Berikan kompensasi kepada kaum tani yang
terdampak Covid 19 11.Hentikan pengakuan nominal atas tanah-tanah ulayat di
pedalaman Indonesia yang bertujuan untuk pembatasan kekuasaan Suku Bangsa
Minoritas dan mempermudah perampasan tanah untuk perkebunan besar, HPH,
pertambangan dan infrastruktur.
Posting Komentar