Kampanye Global One Billion Rising (OBR) 2022 telah memilih “RISE for the Bodies of All Women, Girls & the Earth” sebagai temanya. OBR Indonesia menyambut tema itu dengan memilih tema nasional “Rise for Women, Girls and Mother Earth” untuk kampanye OBR tahun 2022. Tema ini sangat relevan dengan tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang masih intensif dan kerusakan bumi yang sangat parah secara berkelanjutan.
Sesuai dengan misi kelahirannya pada tahun 2012, Kampanye Global OBR berjuang untuk menghapus berbagai bentuk penindasan atau kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja dan tempat tinggal serta seluruh ruang publik di seluruh dunia. Dalam waktu yang sama berusaha bangkit secara bersama untuk mencegah kerusakan bumi secara berkelanjutan. Bumi kehilangan air dan oksigen dalam jumlah besar karena menipisnya lapisan ozon secara drastis. Pemanasan global dan perubahan iklim memberikan beban berlipat pada manusia untuk bisa bertahan hidup.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), satu dari tiga perempuan hingga sekarang masih mengalami berbagai bentuk kekerasan verbal dan non verbal tidak berkurang justru semakin intensif. Dengan tema “Rise for the bodies of all women, girls and the earth” kelahiran kesadaran baru bahwa tubuh perempuan dan anak perempuan serta bumi sangat berharga harus diraih. Pesan Kampanye Global OBR 2022 tahun ini sangat jelas bahwa melindungi perempuan, anak perempuan dan bumi dari berbagai bentuk kejahatan dan kerusakan memerlukan kesadaran baru dan aksi bersama yang lebih luas dan kuat. Bagaimana pun, pandemi Covid-19 telah melipatgandakan kejahatan terhadap perempuan dan anak perempuan serta bumi. Perang agresi dan intervensi imperialis serta perang saudara di berbagai negeri semakin memperburuk kondisi perempuan, anak perempuan dan manusia.
Sepanjang 2021 hinggal awal 2022, kaum perempuan, anak perempuan dan alam tidak henti-hentinya dicabik-cabik oleh berbagai bentuk kejahatan yang mengerikan dan memerosotkan kehidupan sosial manusia sekarang dan di masa yang akan datang. Beban kerja berlebihan di tempat kerja di industrial dan pertanian bahkan di sekolah dan universitas yang merusak kondisi fisik perempuan dan mengganggu pertumbuhan anak perempuan. Mesin dan alat kerja yang dipergunakan oleh kaum perempuan di dalam industri manufaktur dan pertanian utamanya di negeri agraris non industrial telah menyebabkan kerusakan fisik secara dini. Aneka jenis penyakit baru lahir, termasuk ancaman kanker rahim dan payudara telah meningkatkan biaya kesehatan yang harus ditanggung untuk tetap bisa bertahan hidup.
Produksi massal dan monopoli komoditas imperialis menjadi sandaran pemenuhan hidup di seluruh negeri. Tubuh perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia, luar dan dalam, sangat bergantung padanya. Dari pakaian yang dikenakan hingga kosmetika, obat-obat kecantikan, hingga aneka jenis makanan dan suplemen sampah yang menggerogoti fisik dan kekebalan tubuh. Mereka menciptakan standar kesehatan bahkan kecantikan dan selanjutnya memasok berbagai keperluan untuk meraih standar kesehatan dan kecantikan tersebut dengan membanjiri pasar komoditas untuk mengeruk keuntungan. Standar lokal dan nasional kesehatan dan kecantikan perempuan yang sangat variatif bahkan berbeda di berbagai negeri tropis dan subtropis, maju dan terbelakang mengalami kehancuran. Upah perempuan yang sudah terbatas dan timpang dengan laki-laki tergerus semakin besar karena standar hidup, kesehatan dan kecantikan yang tidak ilmiah dan merusak.
Ancaman laten terhadap tubuh perempuan dan anak perempuan tidak berubah secara fundamental. Kejahatan seksual yang barbar dan primitif berupa pelecehan, aneka penghinaan fisik, perkosaan hingga pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan masih berlangsung di seluruh dunia. Tidak ada tanda-tanda bahwa kejahatan tersebut akan berkurang di bawah sistem sosial yang dominan dan sangat patriarkal seperti sekarang. Perkembangan teknologi informasi – internet dan digitalisasi dalam banyak aspek memperkaya pola kejahatan dan memperluas korban hingga semakin sulit dihadapi dan ditangani.
Di Indonesia kejahatan pemerkosaan terhadap anak perempuan di bawah umur berlangsung di seluruh daerah. Perkosaan di Bandung Jawa Barat oleh seorang uztad terhadap 13 orang santrinya sendiri yang berasal dari pedesaan yang ingin sekolah gratis karena miskin. Anak-anak tersebut sebagian besar hamil di usia yang sangat muda bahkan telah melahirkan. Saat ini masih mengalami trauma dan akan mengalami masalah mental sepanjang hidupnya. Dalam waktu hampir bersamaan, anak perempuan berusia 14 tahun diperkosa oleh 16 orang dan jadikan budak seks. Di Jombang Jawa Timur, sejak tahun 2017 seorang anak pengasuh pondok pesantren terkenal juga melakukan tindakan serupa. Sekalipun demonstrasi berulangkali dilakukan korban dan memperoleh dukungan solidaritas luas, Kepolisian Negara tidak dapat menghadirkan yang bersangkutan untuk pemeriksaan. Bahkan pondok pesantren melakukan aksi tandingan dengan mobilisasi santrinya sendiri.
Pemerkosaan anak perempuan dalam rumah dan dilingkungannya sendiri oleh bapak kandung, bapak tiri, bahkan oleh kakak dan keluarga terdekat semakin mengerikan dan akut. Depresi karena kondisi kemiskinan, hubungan dis-harmoni hubungan suami istri, pelampiasan dendam dan kemarahan pada anak perempuan yang lemah, cerminan dari ketimpangan ekonomi yang sangat tajam dan kekuasaan patriarki kaum laki-laki serta keterbelakangan kebudayaan menjadi alasan yang paling mengemuka dalam pemeriksaan kepolisian dan pengadilan.
Di universitas-universitas terkemuka Indonesia, di mana tingkat pengetahuan lebih tinggi dari umumnya, belum mampu menjadi benteng bagi perempuan muda menghadapi kejahatan seksual termasuk pemerkosaan. Bahkan beberapa kasus pemerkosaan di kampus berubah menjadi misogamy terhadap perempuan. Beberapa pelecehan dan pemerkosaan dianggap sebagai kejahatan biasa karena perempuannya dianggap membuka peluang untuk itu. Beberapa kasus dianggap sebagai hubungan seksual “yang sadar” dan dilaporkan sebagai akibat dari dendam karena putus hubungan atau tidak dinikahi.
Kehamilan dan pernikahan usia dini, komersialisasi terhadap tubuh perempuan dan anak perempuan intensitasnya terus meningkat dengan pola yang semakin kaya dan gila. Klaim negara tentang penurunan angka kejahatan ekstrem ini secara statistikal termasuk di Indonesia tidak menggambarkan kejadian yang berkurang, melainkan asas legalitas dan persepsi terhadap kejahatan perempuan beserta nilai kemanusiaan yang sengaja diubah dan samarkan. Mereka berkepentingan menunjukkan kemampuan sistemnya bekerja menangani kejahatan tersebut secara gradual dan membangun optimisme tanpa dasar seolah-olah berbagai jenis kejahatan tersebut dapat dilenyapkan dengan mereformasi kebijakan negara dan bergantung pada siapa yang memerintah di bawah sistem sosial yang sama, imperialisme.
Kehamilan dan pernikahan usia dini akan melahirkan berbagai masalah ikutan yang akut. Kekerasan seksual dalam rumah tangga, kejahatan terhadap anak-anak, masalah pengasuhan, pemenuhan kebutuhan hidup hingga masalah mental kronis bagi kaum perempuan dan remaja. Save the Children dalam laporannya Global Girlhood Report 2020 memperkirakan 1,04 juta gadis remaja hamil dalam setahun di seluruh dunia. Kehamilan ini merupakan akibat dari kekerasan dalam berbagai bentuknya dan akan melahirkan berbagai kejahatan ikutan dalam perkembangannya. Sementara pernikahan dini berada dalam rasio 1:5 dalam satu dekade ini tanpa memperhitungkan Pandemi Covid-19 atau sekitar 100 juta gadis remaja. Selama Pandemi Covid-19 angka tersebut berlipat. Anak-anak sekolah di kalangan kaum miskin pedesaan dan perkotaan yang melaksanakan sistem belajar online karena Pandemi Covid-19 dalam kenyataannya telah putus sekolah. Kehamilan dan pernikahan usia dini serta lebih beresiko mengalami berbagai bentuk kekerasan terutama kekerasan seksual. Angka kekerasan terhadap perempuan dan gadis remaja selama Pandemi telah ditunjukkan oleh meningkatnya laporan kekerasan dalam rumah tangga di seluruh kota di Indonesia.
Pemerkosaan terhadap Yuyun yang masih berusia 16 tahun oleh kelompok pemuda masih terus berlangsung. Pada bulan Februari 2022 ini seorang anak perempuan berusia 16 tahun di Kabupaten Siak Riau dibunuh dan diperkosa di kebun kelapa sawit oleh anak laki-laki yang juga 16 tahun. Bahkan kekerasan seksual oleh aparat kepolisian terhadap perempuan dan gadis remaja hingga berujung kematian masih berlangsung. Tidak sedikit mereka yang sengaja menggunakan atribut aparat negara, TNI maupun POLRI, untuk memperoleh keuntungan material dan seksual dari kaum perempuan dan gadis remaja.
Tidak terhitung banyaknya kejahatan seksual yang terus bermunculan. Aksi meremas payudara di tempat umum, aksi pelecehan seksual di dalam kereta dan kendaraan umum, berbagai jenis pelecehan seksual dan lelucon porno di media massa termasuk dengan penggunaan massal media sosial. Penggunaan narkotika berbagai jenis secara paksa pada kaum perempuan dan gadis remaja yang berujung pada kekerasan seksual. Dalam pabrik dan perkantoran ancaman fisik terhadap kaum perempuan dan gadis berlangsung intensif terutama oleh atasan.
Berbagai diskriminasi terhadap kaum perempuan yang berbasis pada kekuasaan patriarkal memperlemah kekuatan perempuan dan anak perempuan secara sistematis, menjadi pembuka jalan selebar-lebarnya bagi kejahatan seksual. Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan dalam sektor jasa sangat tinggi hingga mencapai 45,57 persen. Dalam sektor pertanian dan industri mencapai 36 persen bahkan pekerja profesional menghadapi kesenjangan upah laki-laki dan perempuan hingga 34,71 persen. Ketimpangan tersebut diperparah oleh rendahnya tingkat independensi ekonomi dan politik perempuan serta meluasnya angka pengangguran kaum perempuan.
Data Gender Inequality Index (GII) Indonesia berdasarkan dapat United Nation Development Program (UNDP) adalah tertinggi di ASEAN pada angka 0,48 jauh dari Singapura dengan GII 0,065 bahkan tertinggal dari Malaysia da Brunai Darussalam dengan GII masing-masing 0,253 dan 0,255. GII Indonesia berada di atas rata-rata dunia 0,436 atau peringkat 121 dari 162 negara di tahun 2019. Data tersebut adalah ironi di tengah klaim Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia.
Kampanye Global OBR 2022 sangat penting dan relevan bagi perempuan dan anak perempuan di negeri di mana perang agresi dan intervensi imperialis serta perang kontra-insurgensi berlangsung. Kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan dalam situasi perang sangat rentan dilakukan oleh kekuatan dominan akan tetapi “asing” di wilayah tersebut serta mengalami frustrasi dalam menangani pemberontak. Perempuan dan anak perempuan menjadi sandra sekaligus tameng hidup, dipaksa menjadi informan dan diperbudak secara secara seksual selama operasi berlangsung dan ditinggalkan begitu saja dalam keadaan hamil dan melahirkan ketika operasi selesai. Pengalaman di Aceh dan Papua serta berbagai wilayah perang lainnya kejadian serupa sudah dianggap sebagai bagian dari “hukum perang” itu sendiri.
Kehancuran pencarian hidup bahkan kehilangan harta kekayaan yang telah dikumpulkan bertahun-tahun karena bencana alam mengantarkan kaum perempuan dan anak perempuan dalam jumlah besar dalam kefrustrasian dan akhirnya menjadi sasaran empuk kejahatan seksual. Kehidupan di kamp pengungsian dalam waktu lama membuka peluang kejahatan seksual yang sangat besar bila tanpa edukasi dan aturan. Tenggelamnya beberapa desa karena Lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur tidak hanya merusak bumi tetapi telah menghancurkan hidup ribuan perempuan dan anak perempuan yang hidup lama di kamp pengungsian. Banyak dari mereka mengalami kejahatan seksual dan akhirnya dipaksa menjadi pelacur. Cerita yang sama berlangsung masif di area bencana alam fatal dan kamp pengungsian dan area migrasi.
Kerusakan lingkungan-kehilangan areal pertanian telah melipat-gandakan migrasi dari desa ke kota, gelombang migrasi antar propinsi karena mencari tanah pertanian baru yang subur dan murah meletakkan perempuan dan anak perempuan dalam situasi rentan dari kejahatan seksual, merusak pola pengasuhan terhadap anak perempuan. Perempuan dan anak perempuan dari Suku Bangsa Minoritas menderita karena kehilangan hutan, sungai, rotan dan sumber daya alam yang menjadi gantungan hidup turun-temurun karena degradasi alam dan perampasan oleh klas yang berkuasa. Kerusakan alam telah mempercepat kerusakan sosial dan degradasi nilai kemanusiaan universal yang melindungi perempuan dan anak perempuan dari berbagai jenis kejahatan kemanusiaan.
OBR Indonesia di mana Organisasi Perempuan Demokratis Nasional – SERUNI sebagai koordinator kampanye Indonesia berkomitmen untuk memperluas penyebar-luasan kebangkitan kaum perempuan, anak-anak perempuan, kaum laki-laki dari buruh, tani, kaum profesional dengan berbagai cara untuk perubahan keadaan perempuan, anak perempuan dan alam yang fundamental.
Posting Komentar