Beberapa Pengertian Istilah:
Buruh Tani Perempuan: Perempuan yang tidak memiliki tanah, memiliki alat kerja sendiri, bergantung hidup dari menjual tenaga pada dan bekerja di tanah milik tani kaya atau tuan tanah. 40% buruh tani di perkebunan besar Indonesia adalah perempuan
Perkebunan Besar Indonesia: Produksi komoditas pertanian ber-orientasi ekspor, menggunakan dana bank-bank internasional atau kapital finans internasional lainnya, implementasi alat kerja tradisional secara massal dan modern secara terbatas.
Kesenjangan antara kaum buruh industrial di perkotaan dan pertambangan dengan kondisi buruh tani di pedesaan sangat tinggi. Buruh industrial yang bekerja dalam pabrik dan tambang yang menjual tenaganya pada kapitalis industri di Indonesia telah terikat dengan berbagai peraturan tenaga kerja nasional dengan tingkat upah dan kondisi kerja jauh di atas para buruh tani. Buruh tani di Indonesia “menjual” tenaganya pada para tani kaya dan utamanya tuan tanah, esensinya adalah SEWA TANAH yang dibayar tenaga. Angka statistik nasional menunjukkan bahwa hingga saat ini buruh tani di pedesaan hanya hidup dari upah riil rata-rata secara nasional 50.000 rupiah, tidak berubah dalam waktuu yang panjang. Demikian pula dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Buruh tani di pedesaan hingga sekarang sangat asing atau bahkan tidak tersentuh oleh peraturan hukum nasional dan juga oleh Konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh negara. Satu-satunya peraturan buruh tani yang pernah lahir di Indonesia adalah peraturan Kolonial Belanda: Coeli Ordonantie 1888 yang berisi tentang pelegalan siksa fisik atas buruh kebun di Sumatera Timur Poenaie Sanktie.
Buruh tani dalam sejarah gerakan tani dan landreform di Indonesia telah berusaha dihapuskan dengan jalan legal dengan dibuatkannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA 1960). Salah-satu konsiderasi dalam pembuatan undang-undang tersebut adalah agar tanah tidak dipergunakan sebagai alat penghisapan dan spekulasi untuk menarik sewa tanah dan peribaan. Termasuk di dalamnya memastikan bahwa semua orang, sejauh dia dan keluarganya berada di pedesaan dan bekerja di tanah pertanian, haruslah memiliki tanah sendiri sekurang-kurangnya dua hektar. Se-ukuran tanah yang dapat dikerjakan secara bebas oleh satu keluarga tanpa membeli tenaga petani lainnya. Akan tetapi karena gagalnya distribusi tanah secara cuma-cuma berbasiskan pada pensitaan tanah milik para tuan tanah tanpa kompensasi, kaum buruh tani termasuk buruh tani perempuan tidak saja gagal dihapus akan tetapi jumlahnya justru terus meningkat seiring dengan lahirnya perkebunan besar monopoli baru terutama dari perkebunan besar kelapa sawit.
Di Indonesia terdapat kurang-lebih 80.000 desa, mayoritas penduduknya adalah kaum tani, dan bagian terbesar dari kaum tani itu adalah kaum tani miskin dan buruh tani. Kaum tani miskin adalah mereka yang memiliki tanah sendiri akan tetapi hasil tanahnya hanya bisa mencukupi 25-50% dari keperluan hidup dasarnya di pedesaan. Karena itu, untuk bisa hidup dia harus menjual tenaganya hingga 75% pada tani kaya atau tuan tanah. Sumber utama tenaga kerja pertanian dalam perkebunan besar di Indonesia adalah tani miskin dan keluarganya. Sekalipun memiliki tanah sendiri, mereka tidak memiliki kemampuan untuk berproduksi secara bebas tanpa mengikatkan diri pada peribaan dari tani kaya atau tuan tanah di pedesaan. Sejak era Kolonial Belanda membangun perkebunan besar monokultur di Indonesia, tani miskin adalah sumber utama tenaga kerja yang dibawa dan dijadikan sebagai kuli kontrak di Sumatera. Di beberapa pulau dan tempat di Indonesia di mana perkebunan besar tidak eksis, buruh tani bekerja di tanah milik perseorangan secara musiman (Casual Workers).
Di perkebunan besar kelapa sawit milik tuan tanah besar di seluruh Indonesia jumlah buruh tani per 1000 hektar lahan kurang lebih 200 orang atau dengan perbandingan rerata satu orang buruh tani bekerja di atas lima hektar tanah dengan alat sederhana milik sendiri atau disewakan oleh para tuan tanah. Para buruh tani tersebut terdiri dari para buruh tani tetap perkebunan dan buruh tani tidak tetap sesuai dengan hari kerja dan sistem upahannya. Para buruh tani tetap bekerja penuh dalam satu minggu 5-6 hari kerja atau 25 hari kerja dalam sebulan. Sementara para buruh tani tidak tetap bekerja secara harian. Umumnya berbasiskan pada kontrak kerja dan hanya memiliki 12-20 hari kerja per bulan atau rerata 12 hari kerja per bulannya.
Di perkebunan besar penentuan upah buruh tani di pedesaan telah mendasarkan dirinya pada undang-undang tenaga kerja yang berlaku termasuk tentang aturan cuti dan hak para buruh tani lainnya. Meskipun undang-undang dan berbagai peraturan dalam perkebunan hanya menjadi acuan formal dan sebagian besar tidak menjalankannya. Para buruh tani tetap, mereka yang tinggal sendiri atau bersama keluarganya dalam mess atau rumah milik perkebunan, berlaku upah minimum setara dengan upah minimum buruh industrial yang berlaku berbasiskan pada propinsi. Mereka menerima upah setiap bulannya, bila tidak masuk, mendapatkan potongan harian sejumlah upah minimum dibagi 25 hari kerja. Sementara buruh tani tidak tetap, mereka yang tinggal di kampungnya sendiri, memperoleh upah harian sejumlah upah minimum dibagi 25 hari kerja. Akan tetapi karena hari kerjanya dalam sebulan hanya rata-rata 12-20 hari, maka upah bulanannya jauh berada di bawah upah minimum propinsi yang berlaku.
Sulitnya pekerjaan di pedesaan, membuat kaum tani miskin tidak memiliki pilihan selain menjual tenaga kerja sesuai dengan jumlah dan cara pengupahan yang ditentukan oleh para tuuan tanah. Kenyataannya, jumlah upah yang sudah sangat rendah yang diberikan oleh para tuan tanah “sudah jauh lebih baik” daripada harga tenaga kerja serabutan di pedesaan atau bekerja pada tani kaya sebagai buruh cangkul, tanam atau panen. Karena itu, jauh sebelum buruh tani menuntut perbaikan upah dan berhadap-hadapan dengan tuan tanah, ia sudah “dikepung” oleh kenyataan kemiskinan di pedesaan, terbatasnya alat produksi utamanya tanah milik sendiri, terbatasnya lapangan kerja dan rendahnya harga tenaga kerja secara keseluruhan sementara keperluan “uang tunai” untuk memenuhi keperluan hidup semakin tinggi. Bahkan di beberapa perkebunan besar kelapa sawit, buruh tani yang ingin bekerja sebagai buruh tetap maupun kontrak bersedia memberikan sejumlah uang masuk pada orang kepercayaan kebun yang membantunya memperoleh pekerjaan atau pada “orang dalam kebun”, bisa mandor dan mereka yang berpengaruh dalam rekrutmen tenaga kerja.
Umumnya pilihan perlawanan yang dilakukan bukan menuntut upah melalui aksi terbuka melainkan melakukan berbagai bentuk perlawanan seperti meninggalkan kerja tanpa sepengetahuan mandor, bekerja asal-asalan terutama oleh penduduk asli, menyembunyikan hasil panen, merusak alat kerja agar bisa istirahat, memilih panen di tempat tanaman dengan buah terbatas dan seterusnya. Hal semacam itu hanya memungkinkan dilakukan oleh para buruh tani tetap. Sementara buruh tani tidak tetap mereka justru mengeluhkan hari kerja yang terbatas, termasuk diliburkan begitu saja dengan alasan tidak adanya pekerjaan yang tersedia yang harus dilakukan. Bila mereka tidak masuk kerja dalam kebun, mereka menjual tenaga secara serabutan atau menggarap tanah yang belum ditanam dalam kebun. Aksi-aksi menyembuyikan pupuk dan obat-obatan pertanian untuk dijual atau dipakai sendiri adalah bentuk aksi yang paling sering dilakukan oleh para buruh tani tidak tetap ini.
Buruh tani perempuan bekerja dalam situasi semacam itu. Selain menghadapi umumnya penghisapan dan penindasan seperti kaum buruh tani laki-laki mereka harus menghadapi berbagai jenis diskriminasi upah untuk pekerjaan yang sama dengan buruh tani laki-laki. Perbedaan upah antara buruh tani perempuan dengan buruh tani laki-laki bisa mencapai 25-50%. Dalam sistem patriarkal kaum laki-laki yang sangat kuat, umumnya para buruh tani perempuan “menerima begitu saja” kondisi ini karena pekerjaan dalam perkebunan diangggap sebagai pekerjaan membantu suami yang terbatas pendapatannnya. Ada banyak masalah yang dihadapi buruh tani perempuan yang bekerja di tanah perkebunan milik tuan tanah besar selain masalah upah dan kontrak kerja yang diperbarui sesuai dengan kewenangan tunggal para tuan tanah. Hak kaum buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan cuti melahirkan adalah hak-hak khusus yang paling umum diabaikan dan ditindas oleh para tuan tanah melalui mandornya. Buruh tani perempuan harus tetap bekerja sekalipun sedang haid, hamil besar dan baru saja melahirkan. Bila tidak, resiko tertinggi yang harus dihadapi adalah pemutusan kontrak begitu saja selain pemotongan upah. Buruh tani perempuan menghadapi berbagai jenis kejahatan seksual hingga mengambil bentuk pemerkosaan oleh para mandor dan pembesar kebun lainnya. Hubungan seksual yang timpang karena relasi produksi yang menindas dan menghisap antar para kaki tangan para tuan tanah dengan buruh tani perempuan sangat umum terjadi. Hal semacam ini hingga sekarang masih dianggap sebagai hal biasa karena begitu banyaknya kasus yang terjadi dan memiliki kecenderungan menganggap buruh tani perempuan yang menjadi biang masalahnya.
Apabila menggunakan Konvensi ILO Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai sandaran untuk mengukur kondisi keselamatan dan kesehatan kerja dalam perkebunan besar, makan apa yang dihadapi oleh buruh tani perempuan berada di skala keselamatan dan keamanan kerja yang paling rendah. Buruh tani perempuan yang bekerja sebagai buruh pemupukan dan penyemprotan bekerja sehari-hari tanpa alat pelindung diri yang mencukupi seperti sarung tangan dan masker. Alat yang dipergunakan untuk membawa pupuk sangat tradisional dan memberikan beban kerja yang besar, demikian pula dengan jenis alat penyemprotannya. Berbagai jenis racun rumput yang dipergunakan sangat membahayakan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, buruh tani perempuan juga harus menghadapi ancaman berbagai jenis binatang berbahaya seperti ular kobra di perkebunan kelapa sawit, terbatasnya tempat untuk makan dan istirahat siang yang terlindung dari terik matahari adalah kenyataan sehari-hari buruh tani perempuan Indonesia.
Standar kerja bagi buruh tani secara keseluruhan dan buruh tani perempuan khususnya sangat jauh dari standar nasional yang berlaku dalam pabrik-pabrik manufaktur apalagi jika mengacu pada standar internasional ILO.
Buruh tani perempuan sedari awal telah kehilangan hak untuk berorganisasi dan membuat kesepakatan kerja bersama secara bebas. Kesepakatan kerja dibuat secara individual dan sepihak oleh para tuan tanah. Kontrak-kontrak kerja bagi buruh tani perempuan diperpanjang dari tahun ke tahun sangat bergantung pada kemauan para tuan tanah melalui kaki tangannya. Tidak ada kekuatan yang tersedia untuk menentang praktek tersebut selama bertahun-tahun. Organisasi buruh tani dan organisasi buruh tani perempuan dalam perkebunan besar hingga sekarang lebih banyak menuntut dan mengajukan tuntutan normatif dengan batas tertinggi tuntutannya: peraturan tenaga kerja yang tersedia bagi buruh industrial yang sangat jauh kesenjangannya dengan kondisi pengupahan dan kondisi kerja secara keseluruhan dalam perkebunan besar paling modern di Indonesia sekalipun. Buruh tani perempuan umumnya bergabung secara otomatis dalam organisasi buruh tani yang dibuat oleh perkebunan atau diijinkan berdiri dan beroperasi oleh perkebunan. Pimpinan para organisasi tersebut adalah mandor atau orang bayaran perkebunan. Hingga saat ini sangat terbatas jumlahnya kaum buruh tani perempuan yang bergabung dalam organisasi buruh tani perempuan yang maju di pedesaan yang sungguh-sungguh berpihak pada perubahaan nasib buruh tani perempuan secara fundamental. Pengorganisasian di perkebunan besar oleh organisasi perempuan atau tani yang maju umumnya bersifat semi-legal, hingga akhirnya benar-benar kuat dan memperoleh dukungan luas dari buruh tani dalam perkebunan. Semua hal tidak bisa dijalankan secara legal dan terbuka begitu saja karena pasti akan memberikan resiko yang sangat besar para buruh tani perempuan yang diorganisasikan. Prioritas utama dalam pengorganisasian adalah pendidikan tentang hak-hak dasar kaum buruh tani perempuan sebagai manusia sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 serta haknya sebagai penjual tenaga kerja berdasarkan berbagai Konvensi ILO tentang ketenaga-kerjaan. Menggunakan hukum nasional tentang perburuhan sebagai standar dalam perkebunan besar, selain jauh dari standarr ILO juga jauh dari kenyataan kehidupan sesungguhnya dan kemampuan buruh tani perempuan di perkebunan yang dikepung oleh kenyataan pahit: tidak adanya alat produksi sendiri utamanya tanah, terbatasnya lapangan kerja, kemiskinan yang akut, rendahnya upah kerja di desa serta sistem patriarki kaum laki-laki yang sangat kuat dan luas di pedesaan.
Harapan terakhir bagi kaum buruh tani perempuan untuk memperbaiki nasibnya secara fundamental hanyalah terletak pada perjuangan menghancurkan monopoli para tuan tanah atas tanah. Demokrasi di pedesaan tidak bisa dimajukan apabila ketimpangan penguasaan atas tanah tetap eksis dan dipelihara. Demikian pula dengan kesetaraan kepemilikan serta upah antara kaum laki-laki dan perempuan harus bisa diwujudkan. Hal tersebut hanya mungkin apabila buruh tani perempuan bisa digerakkan untuk landreform sejati yang dimulai dengan pembaruan upah buruh tani yang sangat ekstrem rendahnya hingga penghancuran monopoli tanah, pensitaan tanah para tuan tanah tanpa kompensasi dan pembagian tanah secara cuma-cuma pada buruh tani laki-laki maupun perempuan secara setara dan merata.
Posting Komentar